“Yos, ikut aku sebentar,” ajak Seno lalu menarik tanganku ke dalam kelas yang baru kami pakai tadi. Tak lupa, kuajak juga Dian yang sudah berjanji untuk menemaniku tadi.
Hampir semua orang sudah meninggalkan kelas. Yang tersisa hanya aku, Dian, dan teman sekelompokku. Kami harus menentukan jadwal wawancara kami ke lapangan.
“Kita sebagian saja yang pergi ke lapangan yah,” kata seorang teman
“Aku setuju. Soalnya aku gak punya tumpangan,” respon seorang teman yang diiyakan teman yang lain.
“Aku bisa bawa mobil kok, pokoknya semuanya harus ikut,” respon teman yang lain.
Tentu saja aku bingung. Aku merasa canggung dengan mereka. Kalau naik mobil pasti mereka akan heboh. Lalu aku harus gimana? Tak mungkin kan diam saja. Ayam yang lagi memeram aja kalau ada yang menggangu pasti akan ribut, pikirku.
“Kamu nanti ikut sama aku aja. Gak usah khawatir,” kata Seno berbisik. Posisinya yang berada tepat di sampingku meyakinkanku bahwa hanya akulah yang mendengar apa yang dikatakannya barusan.
Aku pura-pura fokus dengan temanku yang sedang sibuk menentukan siapa yang akan naik mobil dan siapa yang naik motor. Meski dalam hatikupun ingin sekali tak usah naik mobil. Tapi kenapa pilihannya harus demikian?
“Mau, kan?” tanyanya lagi.
“Aku gak enak sama Tere, Sen, aku naik mobil saja,” kataku menolak
“Tere kan gak ikut. Jadi aman,” jelasnya seolah memaksa aku harus ikut bersamanya.
“Aku naik mobil saja,” kataku mengakhiri perbincangan aneh itu.
Meski hatiku berharap, aku tak bisa mengabaikan akan ada hati yang tersakiti bila kumaui ajakannya. Aku tak mau apa yang kurasakan dulu harus Tere rasakan juga.Entah apa maunya, pikirku. Padahal dulu, dia membiarkanku begitu saja dengan alasan aku hanya dianggap teman baik. Mungkin dia tak tahu membedakan cara memperlakukan pacar dan teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Pagi
Teen FictionBila harus memilih, lebih baik jatuh cinta dalam diam dan harus makan hati setiap hari atau mengutarakan perasaan dan menjadi orang yang tidak kenal setiap hari?