“Hey,” Yogi mengejutkanku
“Kenapa absennya kamu yang pegang?”
“Iya, tadi bapak bilang karena bapak ada urusan, jadi gak bisa nunggu lama sampai komting datang,” jelasnya sambil membereskan bawaannya dan meletakkan buku catatan kecil dan pulpen di atas meja. Aku tak tahu, mungkin hanya itulah yang dibawanya tiap hari.
“Setelah kutinggal, kamu sama Seno bicara apa saja?” bisiknya sambil memperhatikan sekitar kami. Memastikan tak ada yang mendengar apa yang dia katakan. Mungkin
“Tidak ada. Dian langsung datang,” kataku menutup. Dosen sebentar lagi pasti datang. Kulihat, Seno yang kutinggalkan tadi sudah masuk ke kelas hampir bersamaan dengan temanku yang lain, pengejar deadline.
Benar saja. Dosen sudah ada di depan mata sekarang. Sesungguhnya, aku tak ingin beliau bercengkrama banyak hal hari ini. otakku sedang tak siap menampung terlalu banyak. Yang ada bukannya semakin mengerti, justru semakin tak tahu apa-apa.
“Hari ini, bapak hanya ingin melihat hasil kerja kelompok kalian yang bapak beri seminggu yang lalu. Sudah bagaimana perkembangannya?”
Pertanyaannya menusuk. Perkembangan bagaimana. Aku yakin semua kelompok pasti hanya mempersiapkan UMKM mana yang akan diwawancarai. Kebanyakan kan sepertiku yang produktif saat mendekati deadline. Laporan siapa yang udah siap kalau deadline masih tersisa 2 minggu lagi, pikirku.
Benar saja, semua orang diam. Kelas tampak seperti tak berpenghuni. Walau aku berharap ada pahlawan yang menolong kami semua. Seorang saja, tolong berdiri dan jelaskan kita sedang sibuk. Entah sibuk apa.
“Kalau dari kelompok saya, masih sampai tinjau ke lapangan, Pak. Kalau untuk wawancara dan pembuatan laporan, kami belum, Pak”
Semua orang melongo. Aku mengenal suara itu. Hapal. Seno.
“Yasudah,2 minggu lagi laporan akan dikumpul, lebih cepat lebih baik karena kalau ada yang salah masih bisa diperbaiki,” kata Dosen lagi.
Sepertinya Bapak mulai menakut-nakuti kami seolah tiga minggu lagi sudah ada di depan mata. Setelah ini ,semua kelompok akan sibuk berdiskusi, sibuk tinjau lapangan, membuat laporan, dan berdebat harus bagaimana laporannya. Story sosial media mereka sudah bisa kutebak. Dikejar deadline.
Jelas saja aku tak suka ini. sudah melelahkan harus pergi ke tempat untuk wawancara. Apalagi saat membuat laporan, lebih lelah lagi. Lelah hati dan pikiran. Apalagi setelah tahu kelompok berdasarkan nomor urutan di absen. Teman sekelompok yang tak sejiwa pasti akan menghantuiku setiap hari.
“Yos, semangat yah kerja kelompokmu, nanti kutemani kalau kalian diskusi,” kata Dian sambil mengembangkan senyumnya memberiku semangat.
“Gak apa-apa Di? Nanti..”
“Ih, gak apa-apalah, kayak baru kenal aja”Damai sekali hatiku. Setidaknya ada sahabat yang bisa menemani hariku yang kurasa akan mengesalkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Pagi
Teen FictionBila harus memilih, lebih baik jatuh cinta dalam diam dan harus makan hati setiap hari atau mengutarakan perasaan dan menjadi orang yang tidak kenal setiap hari?