"Yosi... Besok turnamen babak 1 aku.."Langkahku terhenti sesaat. Memanyunkan mulutku sebisaku sambil membuang pandanganku jauh.
"Semangatin kek.."
"Yaudah iya," kataku sebal sambil duduk di tempat duduk lorong kampus.
"Jangan kayak gak ikhlas gitu dong," Yogi memilih ikut duduk bersamaku. Merayuku sedikit untuk meyakinkan aku akan menyemangatinya dengan seikhlas hati.
"Semangat Yogiku.."
"Yogiku?"
Aku terdiam. Tak tahu apa yang barusan kukatakan.
"Makasih Yosiku," sambungnya.
"Eh aku nyusul temanku ke toilet ya," kataku menghindar.
"Kenapa gak nunggu disini aja?" Katanya setengah berteriak.
Aku tak peduli. Tetap saja kumantapkan langkahku tak ragu.
Ingin sekali kuulangi waktu untuk memperbaiki kata-kataku sendiri.
Kutakhlukkan jalan yang tak terlalu jauh itu sambil sesekali memukul mulutku. Akupun tak tahu kenapa aku melakukan itu. Takkan mengubah keadaan.
Aku tahu mungkin ini hal yang biasa menurut orang lain. Orang yang nyatanya sudah mengenal cinta bahkan saat masih duduk di bangku SMP. Apalah dayaku yang belum pernah merasakannya bahkan sampai tamat SMA. Untung ada Seno, atau tidak, mungkin akan banyak orang yang menyimpulkan aku bukannya perempuan normal. Atau bahkan aku sendiri sudah sempat menyimpulkan demikian.
Aku bingung. Entah kenapa aku merasa grogi saat Yogi dan aku terasa sedekat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Pagi
Teen FictionBila harus memilih, lebih baik jatuh cinta dalam diam dan harus makan hati setiap hari atau mengutarakan perasaan dan menjadi orang yang tidak kenal setiap hari?