Bintang 2

49 5 0
                                    

"Yos, bakal bilang apa ke aku kalo hari ini aku bawain kamu es krim?"
Pria itu mengagetkanku. Membuat lamunan tentang kisah hidup di novel yang baru saja kubaca hilang entah kemana.

"Serius bawa es krim?" Tanyaku tak percaya. Yang benar saja dia kepikiran membawakan es krim sedangkan dia seharusnya bersama teman-teman gamersnya itu banyak latihan untuk turnamennya itu.

Dia tertawa kecil, "Ini," katanya lalu menyodorkan satu es krim padaku.

Aku tersenyum. Senang. Seandainya Seno yang melakukannya. Entah sebahagia apa diriku.

"Bilang apa?" Katanya sedikit menuntut. Yogi memang begitu. Hanya saja sikapnya yang tiba-tiba akrab itu membuatku penasaran ingin lebih dekat dengannya. Ternyata anaknya baik dan perhatian. Bahkan temanku sendiri akan membiarkan aku membeli es krim dan memakannya sendirian. Mungkin mereka takut gemuk. Seperti tren-tren jaman sekarang yang berisi sedikit disangkanya sudah kegemukan. Entah bagaimana standar gemuk jaman sekarang.

Kupandangi wajahnya yang terlihat puas bisa membuatku senang dengan perlakuannya. "Okey, Yogi, terimakasih banyak yah," kataku seolah tak ikhlas mengucapkan kata-kata itu.

"Aku sekarang kepikiran sesuatu," katanya. Sekarang dia sudah duduk di sebelahku. Kampus yang sedikit ramai itu membuatnya harus mengambil posisi lebih dekat untuk bisa menceritakan apa yang dipikirkannya tanpa diketahui orang lain. Selain aku.

"Kenapa masih betah jomblo?"

"Enggak. Bukan begitu, Yog"

"Lah, trus?"

"Akupun gak tahu"

Sesuka itu aku membuatnya merasa kebingungan. Bukan. Bukan demikian. Aku sendiri hanya bingung harus bagaimana menjelaskannya. Yogi tak akan mengerti.

"Kemarin buat apa ketemu Seno? Ada hubungan spesial kah? Mantan? Atau apa? Dia udah putus sama Tere?"

Mataku membelalak. Kenapa dia seolah tahu semuanya? Bukannya hari-harinya hanya dia habiskan untuk nongkrong di kantin seberang bersama teman gamers nya itu?

"Gak ada, Yogi. Aku sama Seno gak bahas aneh-aneh kok"

Aku mulai mencari jawaban. Namun tak kutemukan. Kutundukkan pandanganku untuk membuatnya tak berusaha jauh untuk mengetahui ada apa di balik kata-kataku.

"Kamu sendiri masih jomblo kenapa?"

Seolah kena serangan balik, dia tersedak. "Eh, aku belum ketemu aja..."

Aku bingung. Wajahku yang penuh tanda tanya itu mulai kuberanikan kutunjukkan padanya.
"...yang pas," sambungnya.

Entah harus yakin atau tidak. Aku beginipun bukan karena merasa belum menemukan yang pas. Hanya karena Seno lebih memilih orang lain. Cinta yang bertepuk sebelah tangan kuyakini membuatku sedikit gila untuk menghadapi kenyataan. Malam nanti, aku tak boleh lupa bercerita pada bintang tentang hari ini.

Sebelum PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang