Berhenti

162 13 0
                                        

Takkan ada yang sakit
saat aku mengerti
dimana harusnya aku berjuang
dimana saatnya aku berhenti

Aku tak mengerti. Cinta yang katanya bisa membuat semangat hidup semakin tinggi malah merusak selera makanku hari ini. Hal yang paling kubenci dalam mencinta adalah melupakan diriku sendiri hanya karena membuatnya tuan atas diriku. Aku tahu tak seharusnya kubebani diriku dengan hal yang seharusnya tak ada di pikiranku. Aku juga tahu tak seharusnya aku selalu menyalahakan keadaan saat aku sudah berjalan sejauh ini. Namun itulah yang terjadi.

Kupejamkan mataku. Rasa lelahku datang lagi setelah tadi pagi sudah kurasa lenyap begitu saja. Mungkin pikiranku yang melalang buana. Entahlah. Aku hanya berharap tidak ada lagi aku yang berharap pada orang yang sama setelah aku bangkit dari tidurku. Aku berharap tidak ada lagi aku yang merasa seolah dialah makhluk terindah yang Tuhan ciptakan di dunia ini. Selamat datang mimpi indah di siang bolong.

Entah sudah berapa jam aku tidur dan berjalan-jalan dalam mimpi. Aku bersyukur aku masih terbangun dari mimpi yang nampaknya lebih indah dari kenyataan. Untung saja aku tidak terlena disana dan masih ingat jalan pulang.

Kupegang perutku yang minta cepat-cepat diisi sampai berhasil membuatku bangkit dari tidurku. Teringat tadi siang tak ada apa-apa yang kubuat untuk mengisi perutku. Kupikir setelah aku hanyut dalam kegalauanku laparku akan hilang begitu saja.

“Dian....”

Kucoba membangunkan Dian sambil menggoyang-goyangkan lengannya. Tak butuh waktu lama aku berhasil.

“Kamu punya roti gak? Ak lapar nih”, kataku sambil memegangi perutku.

Dian pun bangkit dan berjalan ke arah peralatan masak yang tak jauh dari tempat kami tidur. Dia tampak mencari-cari sesuatu. Didapatinya mie telur yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Lalu menunjukkannya padaku.

“Aku Cuma punya ini.” Katanya

Kubangunkan Kesi dan Yana. Kuyakinkan mereka hari ini kami akan berpesta di kamar kost Dian. Semua orang tampak bersemangat dan mengambil tugas masing-masing. Aku dan Kesi menyiapkan bumbu masakan. Dian tampak mencari lagu rock terbaru di ponselnya. Yana merapikan tempat tidur kami tadi.

Teringat saat makan bareng di warung bakso dekat gang kost Dian, Dian dengan sengaja menambah sambal ke mangkuk Kesi. Dia tampaknya sangat senang melihat Kesi kepedasan sambil menutupi mukanya karena malu dilihati orang sekitar. Setelahnya dia sesekali akan mencubit tangan Dian kalau dia sadar ada yang melihatinya. Mata Kesi tampak memerah karena kepedasan. Nampaknya setelah beberapa kali dikerjai demikin Kesi akan membalasnya.

“Aku yang masak”, kata Kesi.

Semua orang bingung. Biasanya masalah masak begini, Dian yang kena.

“ Gantian sesekali gapapa kan”, sambungnya setelah melihat ekspresi bingung kami bertiga.

“Aku bantu ya.” Kataku

Kuambil panci kecil aluminium tempat Dian sering merebus mie.  Kesi yang menyiapkan bumbu. Kesi sengaja membuat cabai agak banyak. Aku kini mengerti kenapa Kesi bersemangat sekali dapat giliran masak hari ini.

Yang dinanti pun tiba. Aroma mie telur ingin segera kucicipi. Semua orang mengisi piring masing-masing dengan semangat. Aku sengaja mengambil giliran terakhir. Aku sudah tak sabar melihat Dian kepedasan dan sibuk menghilangkan pedas di mulutnya. Aku suka melihat dia kapok dengan tingkah jahilnya yang suka mengerjai kami bertiga.

Seperti diriku. Aku juga sudah tak sabar melihat diriku kapok dengan kebodohanku sendiri. Aku sudah tak sabar ingin bercerita tentang orang baru kepada ketiga temanku.

Kesi tertawa puas. Apa yang dia harapkan akhirnya menjadi kenyataan. Mata Dian tampak kemerahan. Anak yang tak suka pedas itu tampak kesal setelah berhasil dijahili Kesi. Akupun ikut tertawa. Lucu sekali rasanya melihat Kesi dan Dian saling pukul dan melupakan laparnya.

Sesungguhnya aku ingin seperti Kesi. Tertawa puas setelah apa yang diperjuangkan kini menjadi kenyataan. Bukan ingin membuat Seno mendapat karma setelah membuatku sedih hampir setiap hari. Tapi ingin melupakan bahwa pernah ada hati yang berharap. Aku tahu. Cinta tak salah. Bahkan saat aku merasa kehilangan  harapanku karenanya. Aku tak akan merasa sakit. Saat aku mengerti dimana saatnya aku berjuang dan dimana saatnya aku berhenti.

Sebelum PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang