Aku membenci awan yang melahirkan hujan.
“Perkenalkan namaku Yogi..”
Aku menunduk. Kubiarkan dia memperkenalkan dirinya tanpa kuperhatikan sedikitpun. Aku ingin diriku tak peduli.
Aku berharap waktu berjalan lebih cepat. Ingin kulewati rapat kali ini secepatnya.
Selesai rapat, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu. aku tak mau Yogi menanyaiku, atau basa-basi tentang apapun itu.
“Yosi, mau langsung pulang ya? Masih hujan”
Aku tak menjawab. Aku tak tahu kenapa sekarang yang ada di kepalanya hanya untuk mengusik kehidupanku. Aku tak mau apa yang dulu Seno lakukan terjadi lagi.“Kamu tahu kenapa pelangi tak terlalu indah setelah aku di kota ini?”
Aku tersenyum. Aku tak tahu kenapa.
“Nanti setelah sampai di kost kamu bercermin ya. Di matamu ada pelangi yang lebih indah,” katanya.
Aku mencubit tangannya. Kesal. Dia mengerjaiku lagi dan lagi.
Dia tak suka kalah, diapun berdiri untuk menampung air di tangannya. Memercikkannya ke wajahku. Akupun ikut-ikutan berdiri dan membalasnya lebih lagi. Baju kami mulai basah. Aku tak peduli. Tak ada siapapun di sini.
Lorong kampus tampak sepi. Tak ada mahasiswa yang biasanya duduk hendak menunggu jam kuliah atau dosen pembimbing. Sebagian sudah menemui dosen pembimbing akademik untuk persiapan semester yang baru.
Hujan tampak awet sejak tadi siang. Rintik yang berjatuhan tak begitu deras. Tapi cukup untuk membasahiku jika kuteruskan untuk pulang sekarang ke kostku yang harus kutempuh dengan berjalan kaki. Mungkin itu pula yang membuat banyak mahasiswa yang enggan untuk menemui dosen pembimbing. Masih tersisa tiga hari lagi.
“Kamu tahu, Yos...” Aku menatapnya. Dia tampak asyik memainkan hujan yang jatuh dari ujung atap dengan jarinya. Akibat ulahnya, sesekali kami akan terciprat air hujan. Tak apalah, air hujan yang membasahi baju kami sudah lebih banyak daripada itu. “Sejak kecil sampai sekarang, aku suka sekali hujan,” katanya sambil menatapku.
“Aku gugup dengan tatapannya. Kuusap wajahku yang mulai basah akibat percikan air. Sekalian untuk menutupi wajahku yang mungkin sedikit memerah.
“Kamu mau kita main hujan pulang ke kost? Aku akan mengantarmu,” katanya sambil memegang tanganku.
Aku tersenyum mengiyakan.
Kami berjalan meninggalkan lorong. Aku menatapnya setelah kurasa dia tak lagi menatapku. Aku tersenyum. Aku tak tahu setelah ini aku akan demam atau bagaimana. Yang kutahu aku nyaman saat dia berada di dekatku.
“Hai, kenapa diam saja?” tanya Yogi lagi. Sepatuku sudah rapi di kakiku. Tasku juga sudah ada di punggungku. Kulangkahkan kakiku setelah memastikan tak ada yang tertinggal. Kututupi kepalaku dari hujan meski kutahu tetap saja nanti akan basah karena hujannya cukup deras. Masih beberapa langkah aku meninggalkan teras, bajuku sudah basah. Tak apalah. Lebih baik bajuku saja yang basah. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika mataku yang basah lagi. Kemarin aku ikut organisasi ini karena aku ingin sibuk saat tak ada urusan tentang studiku. Aku tak mau kenangan tentang Seno menghantuiku lagi. Akupun tak mau usahaku sia-sia.
Aku membenci awan yang melahirkan hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Pagi
Ficção AdolescenteBila harus memilih, lebih baik jatuh cinta dalam diam dan harus makan hati setiap hari atau mengutarakan perasaan dan menjadi orang yang tidak kenal setiap hari?