Mengesalkan memang
saat tak kuasa mengendalikan pikiran aneh
yang hanya menjadi penyebab pesimis berlebihan.•°•°🌸°•°•
Dies Natalis. Ya, hari ini dies natalis jurusanku. Hari dimana orang-orang yang berhasil meraih juara di perlombaan/pertandingan yang dilakukan jauh-jauh hari dipanggil ke depan untuk memperoleh hadiah penghargaan. Hari dimana orang-orang akan tampil berbeda dari hari-hari kampus biasanya. Hari dimana orang-orang akan menghabiskan waktu bersama teman-teman atau gebetan atau pacarnya—yang kebetulan sejurusan dengannya, menyaksikan penampilan penyanyi-penyanyi hebat yang sengaja diundang untuk memeriahkan acara, sambil menyantap sajian lezat yang disediakan oleh panitia. Bahagia sekali, bukan?
Kali ini aku tak akan berekspektasi lebih. Lebih tepatnya, tak mau menyakiti diriku sendiri lagi dan lagi.
Setelah acara resmi selesai, benar saja seperti dugaan. Semua orang hilir mudik seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Mencari teman yang mau diajak foto sebelum malam terlalu larut dan semua orang harus pulang ke tempat istirahat masing-masing.
Masih jelas terasa saat Seno mengajakku foto bersama setahun yang lalu. Saat aku masih adalah satu-satunya tempat pencurahan semua keluh dan kesahnya. Saat sebelum ada perempuan manis yang sering dia ceritakan—perempuan yang menjadi alasan aku untuk pergi sejauh mata memandang sebelum akhirnya berhenti oleh perintah hatiku sendiri—yang adalah tempat ternyamannya untuk pulang.
Aku tak cemburu. Aku tak ada hak untuk itu. Tapi ada sesuatu yang mengganjal. Aku mengakui itu. Entah itu rasa takut kehilangan atau keegoisan yang diciptakan alam khayalku.
"Yos, foto yuk!"
"Yukk!" kataku sambil beranjak dari tempat duduk. Dari tadi aku memang sedang memperhatikan orang-orang berfotoria tanpa berniat untuk ikut. Mungkin gengsiku untuk mengajak foto duluan masih berlaku. Jelas saja kami terlihat sangat ceria mengingat itu adalah foto berdua kami pertama kali, yang kurasa menjadi foto berdua terakhir kali juga.
"Yosiii!" panggil Dian sedikit berteriak.
"Kamu mau kita pulang dan kamu belum ada foto sama sekali?" katanya lagi. Kata-kata yang seolah bertanya namun tak membutuhkan jawaban. Ditariknya lenganku untuk mengikuti kemana dia pergi. Tepat ke depan photobooth yang kemarin katanya harus mereka singgahi besok.
"Aku capek berdiri, aku duduk ya"
Aku kemudian duduk di kursi yang ada di dekat photobooth itu setelah mengabadikan beberapa foto bersama teman-temanku. Terlihat teman-temanku masih asyik berfotoria karena memang tak ada lagi yang mengantri. Aku semakin yakin malam sudah mulai larut tanpa harus memastikan pukul berapa di jam tanganku.
Tak jauh dari tempatku duduk, aku melihat Seno. Tebersit di otakku untuk memberanikan diri mengajak dia berfoto bersama. Menurutku, sesekali tak apa. Lagian mungkin dia tak akan berpikir lain-lain. Tak ada apa-apa kan. Hanya teman. Teman lama.
Lagi-lagi aku mengutamakan egoku. Aku terlalu memikirkan apa yang dia pikirkan jika aku yang mengajaknya. Yah, mungkin dia akan semakin sepele dan menganggapku rendah. Atau lebih parah lagi, takkan mau mengenalku lagi dan menganggap aku tak ada.
Mengesalkan memang saat tak kuasa mengendalikan pikiran aneh yang hanya menjadi penyebab pesimis berlebihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Pagi
Teen FictionBila harus memilih, lebih baik jatuh cinta dalam diam dan harus makan hati setiap hari atau mengutarakan perasaan dan menjadi orang yang tidak kenal setiap hari?