Terkadang
Akan ada waktu
harus mengasihani Hatiku
yang selalu diminta untuk tidak jatuh
oleh otakku sendiri“Aku suka suasananya, Di”
“Aku juga, Yos”
“Di kota gak bakal ada kayak gini, yakan,” sambungnya
Aku tak menjawab. Hanya senyum yang mengembang.
Kusantap makan siangku yang sudah kupersiapkan dari kost-an pagi tadi sambil memandangi sekitar. Teman-teman nampak makan siang sambil merendam kakinya di air. Teman yang selesai makan mulai asyik mengganggu yang lain. Hal yang jarang kutemukan di kota setelah kelas mulai menyebar setelah peminatan di semester lalu. Hal yang selalu kurindukan sesaat sebelum dosen mata kuliah memasuki kelas.
Dulu, sebelum dosen masuk, teman-temanku akan membuat banyak lelucon yang tentu disambut baik oleh teman yang lain termasuk aku. Akan ada canda tawa yang tejadi setiap harinya. Hari libur menjadi sesuatu yang menyebalkan. Rindu mendengar si pelawak yang mulai berdiri di dekat tempat duduknya mengeluarkan kata-kata yang seolah sudah dia siapkan sejak semalam. Teman-teman di sebelahnya akan bereaksi menambah aksi si pelawak.
Bukan pelawak. Dia hanya begitu lucu. Aku suka menyebutnya si pelawak.“Yos, ikut aku yok berendam”
Entah sejak kapan Dian sudah duduk di air. Airnya begitu dangkal membuat diri ditarik untuk ikut duduk seperti Dian. Tak sampai setengah betis. Kurapikan bontotku yang sebenarnya sudah habis dari tadi.
Wuaaa.. bajuku basah lagi setelah hampir mengering di badanku tadi. Ada yang menyiramku dari belakang. Aku berbalik.
“Dian...,” seruku sedikit berteriak
“Bukan aku kali,” katanya sambil sibuk memainkan air. Sedikit cuek. Mungkin karena ini kali kedua aku menuduhnya untuk hal yang sama.
Aku terdiam. Kuturuni tangga menuju dasar air tempat Dian berendam. Aku duduk di samping Dian.
Tiba-tiba aku merasakan aku disiram lagi dari belakang. Sebagian percikan air jelas terlihat melewatiku. Aku cepat-cepat menoleh tak mau ketinggalan kali ini.
“Kamu kan yang nyiram,” kataku sekenanya pada orang yang tepat di belakangku.
Dia hanya tersenyum, “Berarti bukan Dian kan”
Aku berbalik.
Kuabaikan orang iseng baru itu. Orang yang dulunya kukira sangat kalem dan tidak suka menganggu orang. Bahkan bercengkrama pun jarang. Aditya Prayogi. Sebut saja Yogi. Anak yang suaranya mungkin jadi paling mahal di kelas. Menjadi gamer membuatnya kurang dikenal jauh oleh teman-teman termasuk aku. Sekedar nama, alamat, asal sekolah. Itupun karena perkenalan awal masuk semester satu. Bukan dia jahat makanya aku tak meresponnya. Aku sama sekali tidak mengerti sikapnya.
“Kita bisa jadi teman dekat kan,” katanya lagi.
Sekarang dia duduk di sebelahku. Tidak lagi di belakangku.
“Kita teman selama ini,” jawabku singkat.
“Yuk, Di, kita ke dekat Kesi sama Yana,” kuajak Dian.
Sesungguhnya aku tidak ingin menanggapinya dingin. Aku hanya tak ingin ada yang salah paham. Teringat aku saat masih semester dua. Dia disukai teman sekelasku, Inggid. Inggid pernah menceritakan soal itu saat kami berdua pernah sekelompok. Saat itu dia terang-terangan menceritakan tentang kecemburuannya saat Yogi dekat dengan Dita yang juga teman sekelasku. Padahal Dita dengan Yogi memang berasal dari sekolah yang sama. Wajar bila sedikit akrab pikirku. Aku tak merespon lebih. Aku tak tahu juga bila akulah yang di posisi Iggid saat itu. Aku hanya dituntut untuk mengerti tentang kecemburuannya, yang datang juga pada Dita. Padahal tak ada bukti yang membuat Inggid merasa yakin ada hubungan spesial di anatar keduanya.
Aku juga tak mau Seno berpikir aneh tentang aku. Walau aku sendiri tidak tahu dia peduli atau tidak. Hanya saja ada hal yang membuatku seolah tak ingin dekat dengan siapapun. Ada otak yang selalu memberontak tak ingin hati jatuh lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Pagi
Teen FictionBila harus memilih, lebih baik jatuh cinta dalam diam dan harus makan hati setiap hari atau mengutarakan perasaan dan menjadi orang yang tidak kenal setiap hari?