Seni lupaku yang berantakan

75 11 0
                                    

Aku mengerti.
Aku memang sering menjaga perasaan orang yang sebenarnya tak pernah menjaga perasaanku


Langkah kakiku kian menyusut sesaat setelah aku mulai melihat keramaian kantin yang kini berada di hadapan mataku. Dekat sekali. Aku mulai menggerak-gerakkan kepalaku mencoba mencari tahu dimana Yogi berada. Sesekali orang yang melewatiku akan melihatiku dengan curiga. Ingin kujelaskan aku tak salah apa-apa. Sayangnya orang itu berlalu secepat kilat. Aku benci tatapan orang-orang begitu. Aku sedang ingin bertemu dengan seseorang, pikirku
Sampai akhirnya aku gagal dan memaki diriku sendiri. “Untuk apa juga kumaui perintah anak itu tadi,” kataku pada diri sendiri sambil membalikkan badan memutar haluan.

“Eh, mau kemana,” kata seseorang dari belakang.

Ternyata Yogi! Ingin sekali kuteriaki dia di depan banyak orang untuk meyakinkan setiap orang yang melihatiku tadi. Agar mereka tahu siapa biang keladi semua ini. Tak adil menurutku jika orang seolah menilaiku salah hanya karena menunggunya di depan pintu kantin dengan ekspresi konyol. Seperti anak kecil yang genggamannya terlepas dari tangan ibunya saat berbelanja di pasar tradisional.

“Aku menunggu dari tadi,” sambungnya. Aku tak peduli.

Seandainya dia tahu apa yang dia rasakan tak setimpal dengan rasa maluku saat harus menunggunya sedari tadi.

“Jangan bete begitu. Aku Cuma mau ngasi ini,” ditariknya tanganku sebelah dan meletakkan benda di dalamnya. Gelangku.

“Kenapa ada...”

“Aku menemukannya di tepi air terjun kemarin,” kata Yogi memutus pertanyaanku.

Dasar aneh. Kenapa hanya untuk memberi gelang saja harus meminta menemuinya di kantin. Padahal kan tadi baru saja ketemu di kelas. Menghabiskan waktu saja, pikirku.

Sebenarnya aku sadar aku kehilangan gelang itu semalam. Kemarin sebelum turun ke air aku membukanya dan menaruhnya di dalam tas. Aku takut kalau-kalau gelang itu terlepas dari tanganku saat aku bermain air. Padahal kan itu gelang yang kami bli bersama ketiga temanku. Tapi ternyata setelah kuperiksa semalam, gelangnya tidak ada di dalam tas. Aku sebenarnya cemas walau tak kutunjukkan di depan teman-temanku. Mungkin belum kuperiksa tasku dengan baik, batinku lagi.

“Yaudah, makasih,” kataku dan berlalu.

Sebenarnya aku sempat berharap lebih semalam. Aku mengira dia akan bercerita tentang hubungannya dengan Inggid yang semakin serius. Ah, apasih aku. Tak mungkin orang sedingin es itu jatuh cinta, pikirku. Akan lebih baik jika aku berpikir kalau dia akan bercerita tentang game barunya, atau hero terbarunya, grup game barunya, kemenangan grupnya di turnamen, anime yang baru ditontonnya semalam, atau pacar khayalan barunya di film itu. Bukan tentang Inggid.

“Lain kali kalo bosan, datang aja kemari,” katanya lagi setelah kakiku mulai kuayunkan maju meninggalkan tempatku berpijak tadi.

Kuhentikan langkahku sejenak. Meyakinkan barusan aku tak salah dengar. Tak bisakah sekali saja laki-laki aneh itu terlihat seperti laki-laki lain? Kulangkahkan lagi kakiku lebih cepat. Aku takut berlama-lama berada dekat dengannya. Aku takut akan ada keanehan baru lagi yang dia ciptakan setelah ini. Lebih baik kususul temanku ke kost Yana sekarang.

***


“Hai,” sapaku sambil membuka sepatuku di depan pintuk kost Yana. Langsung saja aku masuk untuk mengambil posisi baik di kasur.

“Kebetulan Yosi udah sampai, bentar lagi mienya masak loh,” kata Dian sambil mengaduk mie dalam kuali.

“Entah darimana si Yosi, cepat bat baliknya, ya,” kata Yana yang duduk dekat dengan Dian sambil memandangi mie yang tampak sudah mulai masak.

“Darimana sih Yos,” tanya Kesi sambil menurunkan majalah yang sedari tadi menutupi wajahnya.

“Tadi ketemu sama Yogi,” jawabku sekenanya.

“What? Ngapain Yosi sama Yogi?” Dian tampak kaget.

“Yosi mah gitu, padahal ditanya serius,” timpal Yana.

“Iya, gelang aku hilang, rupanya dia yang nemu,” jelasku sambil memegangi gelang yang sudah kupakai.

“Jadi mau balikin gelang?”

“Iya”
Kesi terdiam.

Kemarin Kesi pernah menjodoh-jodohkan aku dengan Yogi. Katanya Yogi nampak serius saat kerja kelompok denganku. Berbeda dengan saat bersama yang lain. Mungkin kami adalah partner yang pas, begitu katanya. Yogi juga nampaknya baik, meski aneh. Dia bersikap dingin agar tidak merasa mempermainkan perasaan perempuan.

Terserahlah. Toh aku tak suka sama dia. Aku sedang menjaga hatiku untuk orang yang sebenarnya tak pernah menjaga perasaanku. Aku juga tak tahu entah Yogi suka aku atau tidak.

“Mienya udah matang...”

“Santap!” seru kami hampir bersamaan

Sebelum PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang