Mengapa tetap tinggal?

380 15 0
                                    

Hal yang tak pernah kumengerti
adalah
Kenapa aku memilih tetap tinggal
saat pemilik rumah
tak pernah membukakan pintu
 

•°•° 🌸 °•°•


setelah hari yang menyenangkan itu—meski sedikit menjengkelkan juga— dia sering datang lebih awal ke kampus. Aku tak tahu apa tujuannya sebenarnya. Yang kutahu, dia sering menemaniku di lobi—sambil makan nasi gurih, jika itu pagi hari— sambil berbincang-bincang ringan tentang kampus dan hal-hal kecil sehari-hari. Jika dia tahu aku merasa jengkel dengan leluconnya yang berlebihan, dia akan dengan sigap mengelus rambutku lalu berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Meski dia masih saja melakukan hal yang sama.

Hatiku dibuatnya kacau. Seperti hati anak kecil saat mengetahui balon hijaunya baru saja meletus. Baru kali ini aku merasa tak tenang dan bahagia sekaligus. Sebelumnya, aku tak akan berbincang dengan laki-laki manapun kecuali jika itu harus dilakukan. Seperti, memberitahu ketua kelas baru saja aku kehilangan buku, memintanya untuk tidak memasukkanku ke grup bermain voli saat tujuh belasan nanti, dan sejenisnya.
Kali ini, aku bahkan bisa berangan jauh, lebih jauh dari biasanya. Mengkhayalkan masa depan dengan seorang kekasih, menghabiskan masa tua, dan menjadi bahagia.

Sampai akhirnya aku harus mengaku telah gagal melanjutkan angan-angan itu.

“Kamu tahu Tere, Yos?”

Sebelumnya aku sudah curiga dengan nama itu. hanya saja aku terlalu berpikir positif dan mengabaikan kecurigaan yang sekarang menjadi nyata itu. Setelah berhasil menjadi ketua gerakan mahasiswa pecinta alam fakultas, nampaknya Seno memang lebih akrab dengan Tere yang adalah sekretaris Gemapala fakultas periode ini.

Tak apalah. Karena sejak awal memang dia tak berniat untuk membuatku jatuh hati dan sulit untuk bangkit. Diriku sendirilah yang inisiatif.

Sejak awal semester dua, dia memang sudah sering mengatakan bahwa dia sangat ingin menjadi ketua Gemapala nanti setelah pemilihan pengurus yang baru. Entah itu karena dia memang ingin berbakti kepada organisasi itu, atau dia memang sudah mengincar Tere sejak awal mengenalnya. Yah mungkin dia berpikir dengan menjadi ketua Gemapala, dia akan dengan mudah menakhlukkan hati Tere. manusiawi kan?
Bagaimana tidak? Tere adalah anak yang ceria dan mandiri. Tidak sepertiku yang sering mengeluh dan sangat manja kepadanya. Tentu saja Seno merasa beruntung jika bisa mendapatkan gadis itu.

Aku hanya mengangguk tanpa menatapnya. Aku berharap dia menghentikan perbincangan tentang perempuan itu setelah melihat reaksiku.

“Gimana kalau kupacari saja dia?”

Dian benar. Laki-laki memang tak ada yang mengerti tentang perasaan perempuan.

“Kenapa nanya ke aku?”

Seno tersenyum. Tampak sangat bahagia.

“Aku merasa yakin kalo Tere pasti menyukaiku juga. Aku cuma pengen tahu, menurut kamu gimana, gitu, Yos.”

“Heheh. Yah lanjut aja.”

Seno mengelus rambutku. “Anak yang baik.”

Seno ternyata tak sepeka yang kubayangkan. Aku kira, setelah dia merasa yakin namanya akan kutulis di buku kecilku, dia tak akan mempermainkan perasaaanku.

Aku tak akan bermimpi membuat dia terpukau dengan sikap unikku dan merasa menyesal saat tak bisa memilikiku. Tak akan aku tampil cantik nan anggun hanya agar dia merasa tak salah telah mencintaiku. Tak akan aku membuat dia merindu dan merasa sesak saat sehari saja tak bertemu denganku. Aku hanya ingin dia merasakan kehadiranku di kehidupannya barang sekali saja.

Teringat hal yang sering membuatku bahagia saat duduk di bangku sekolah. Saat guru membagi kelompok secara acak dan laki-laki yang kusukai selama ini sekelompok denganku. Lucu sekali rasanya berpura-pura biasa saja padahal sudah salah tingkah sedari tadi. Sesederhana itu yah bahagia anak sekolah.

Hal yang sebenarnya sering kualami di bangku perkuliahan saat ini. Sekelompok berkali-kali. Mengerjakan tugas yang sama, berdiskusi panjang lebar di grup, bahkan sering menghabiskan waktu berdua sembari menunggu jam pelajaran di mulai. Hanya saja berbeda dengan saat duduk di bangku sekolah. Tidak ada ekspresi kaku akibat salah tingkah. Tidak ada pandangan yang tiba-tiba menunduk akibat tabrakan mata. Semuanya terasa datar saja. Yah datar. Entah ini karena aku dan dia sudah terlalu sering bersama atau karena suatu pengakuan yang kudapat di luar ekspektasiku.

Sedih? Kurasapun tak lagi. Aku tahu akan sering merasa sakit hati setelah mendengar pengakuan Seno kemarin. Sesering itu, sampai aku merasa biasa saja sekarang.
Teringat saat jatuh cinta pertama saat duduk di bangku sekolah. Jangan sampai terlambat ke sekolah karena malu kalau sampai ketahuan sama gebetan. Tugas tidak ada yang tidak selesai— karena dia sudah mengingatkan tadi malam. Chat panjang lebar hampir tiap malam sampai ketiduran. Rindu yang terasa melanda kapan saja tak tahu tempat dan waktu.

Berbeda dengan sekarang. Aneh sekali rasanya saat si tukang cemburu di bangku sekolah ini tiba-tiba berubah menjadi orang yang seolah tak peduli apapun yang dilakukan lelaki yang tampaknya sempurna di pertemuan pertama itu.

"Aku sekarang punya pacar."

Dia tersenyum. Hatiku patah.
Kemarin, saat dia mengatakan dia menyukai Tere, hatiku kacau. Hari ini aku mendengar dia sudah punya pacar—yang kuyakini adalah perempuan itu— tak lagi hatiku kacau. Karam di lautan yang dalam dan tak berharap ditemukan. Itu hanya akan menyiksa batin lebih lagi. Karena untuk dicari adalah kemustahilan.

Apa sebenarnya yang membuatku untuk merasa pantas untuk tetap tinggal? Aku membatin. Tak ada yang pernah kuperjuangkan sehingga dia tahu aku sudah berjalan sejauh ini. Tak ada kata-kata yang seolah mengatakan seharusnya dia peka. Tak pernah ada hal yang dia lakukan teruntuk aku saja sehingga membuatku merasa spesial di matanya. Semua yang dia lakukan terhadapku, sama saja dengan hal yang dia lakukan kepada orang lain. Lalu mengapa aku menuntut?

Hari itu adalah awal. Awal aku berbohong pada diriku sendiri. Mengatakan bahwa aku bahagia melihat dia bahagia biarpun itu dengan orang lain.

Sebelum PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang