Biar berlalu

55 6 0
                                    

“Yosi, ayo masuk”
Dian mengajakku. Namun pandangannya aneh. Menatapku curiga entah kenapa. Mungkin karena melihatku duduk bersama Seno disini.

Tiba-tiba saja batinku ingin berteriak. Kenapa semua orang seolah menghakimiku? Tak adil.

Kuulurkan tanganku menyambut uluran tangannya. Melangkah mengikuti langkah kaki temanku. Meninggalkan Seno sendiri untuk kedua kalinya. Tanpa kata. Hanya pandangan yang menatapnya sebentar lalu menghilang. Tak tega rasanya meninggalkan dia sendirian walau aku sebal mendengarkan dia berbicara. Walau dulu dia pernah meninggalkanku tanpa merasa bersalah sedikitpun.


Hari itu aku menunggunya di tempat itu. Berharap dia datang lebih awal dari biasanya. Menemaniku menghabiskan waktu disini barang sebentar. Sebelum jam menunjukkan pukul sepuluh dan perkuliahan akan segera dimulai.

“Yos, ayo ikut, si Seno sedang bersama Tere, di parkiran...”
Aku terkejut. Tak percaya dengan apa yang kudengar, aku berdiri dan melangkah ke arah depan gedung. Melihat apa benar-benar Seno yang Dian lihat disana bersama Tere.

“...sepertinya ada sesuatu di antara mereka.”

Pandanganku tak lepas dari Seno sampai mereka hilang di balik gedung. Aku tak menyangka hari yang kukira akan menyenangkan mendengarnya bercerita tentang semalam atau mendengarnya protes dengan cerita anehku malah seperti ini. ada cerita baru yang terselip dalam cerita lama.

Masih saja kutunggui mereka melewati tempat aku menunggunya sedari tadi bersama Dian.

“Hai, Yos, kamu tahu, sekarang aku gak jomblo lagi,” Seno tampaknya tak merasa ada yang salah saat mengucapkan kata-kata yang benar-benar menghancurkan harapanku itu. Sambil tersenyum dia menatap Tere. Tatapan yang mendapat balasan hangat dari yang ditatapnya. Meyakinkan padaku bahwa dialah gadis yang membuang kesendirian hatinya selama ini. Hati yang kukira akan menjadi tempatku untuk pulang selama ini.

“Aku beritahu ini karena kamu adalah teman dekatku, Yos”
Sesunggguhnya ingin kututup saja mulutnya saat itu. tak ingin aku hanya menutup telingaku agar tak mendengarnya berbicara apapun tentangnya dan Tere. aku tak ingin Dian yang berada disitu juga malah membencinya dengan kata-kata yang membuatku hancur lebur, dan Seno tidak menyadari itu.

Aku mengalihkan padanganku kepada Dian. Ingin kuyakinkan bahwa apa yang barusan kami dengar tidak benar. Ini hanya mimpi. Pandangan dia tak sedikitpun terlepas dari Seno. Seolah ingin menerkamnya detik itu juga. Kurasa usahaku sia-sia

“Oh iya, kami duluan yah,” Seno berlalu diikuti dengan Tere yang menebar senyum tanpa merasa bersalahnya itu. akupun tak tahu, entah kenapa aku kesal dengan Tere yang mungkin saja tak tahu apa-apa perihal aku dan pacar barunya itu.

Dian memegang tanganku sambil meremasnya sedikit. Membuatku semakin tegar menerima kenyataan.

Sebelum PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang