Tertanggal Terakhir

60 8 0
                                    

Ada hal yang harus kuselesaikan. Itulah yang ada di pikiranku sedari tadi pagi. Mungkin juga semalam. Saat Dian menuduhku baru saja mimpi buruk.

"Kenapa kemari?"

Yogi mengagetkanku.

Aku bingung. Dia menanyaiku padahal dia sedang melakukan hal konyol sama sepertiku. Datang lebih awal padahal sedang tak ada mata kuliah yang masuk pukul delapan pagi ini.

"Kamu sendiri mau apa kemari?"

"Aku mau ketemu teman-temanku. Kami ada turnamen game Minggu depan. Jadi mau bahas itu. Mereka payah kalo harus bicara di grup. Suka balas gak balas"

Aku mengangguk, mengerti. Tak ada yang perlu dia jelaskan lagi.

"Kamu sendiri mau apa?"

"Oo.. aku?"
"Hehe.. aku sedang menunggu seseorang"

Aku malu. Takut. Ah entahlah. Intinya aku tak ingin Yogi curiga dengan apa yang akan aku lakukan sekarang.
Semoga Seno agak telat datang. Atau matilah aku.

"Aku bingung kamu mau menunggu siapa, Yos. Kita gak ada mata kuliah kan pukul delapan.. lalu siapa yang bakal datang sepagi ini?"

Matanya memperhatikanku sebentar. Merasa ada sesuatu yang aku sembunyikan.

"Eh aku duluan yah," kataku memecah suasana yang tiba-tiba berubah menjadi hening itu.
Aku melihat Seno melambaikan tangan ke arahku di dekat tangga. Tak terlalu jauh dari tempat aku duduk bersama Yogi.

"Oh, ada janji dengan Yogi, yah" katanya tersenyum tipis. Dia tampak manis dengan senyum seperti itu. Mungkin itu yang membuat banyak teman sekelasku yang tertarik padanya secara terang-terangan. Seperti Inggid.

Aku salah. Bersama dengan Seno ternyata justru membuatku semakin tak tahu harus berkata apa. Aku seolah semakin tak tahu harus mengeluarkan kata apa dari mulutku. Bukankah aku yang semalam sok-sok an ingin mengajaknya berbincang sebentar di kantin?

"Oiya, makanan disini enak-enak loh.. aku suka makan siang disini"

Kurang tahu apa aku tentangmu, Sen, pikirku. Aku merasa dia seolah mengatakan basa-basi yang jelas-jelas sudah sangat jelas kupahami. Dulu saja aku tahu dia anak kostan yang baik yang suka bawa bontot makan siang yang sengaja dimasaknya pagi-pagi sebelum bersiap-siap ke kampus. Tak lama setelahnya, entah karena jam kampus yang terlalu padat atau tugas yang kian menggunung, dia sudah jarang membontotkan makan siangnya. Aku malah sedikit yakin dia suka melewatkan sarapan.

"Iya, Sen," kataku gugup. Sedang berusaha mengumpulkan tenaga untuk mengatakan kata-kata yang semalam sudah kusiapkan.

"Aku mau bilang sesuatu," sambungku. Kali ini kuberanikan menatap matanya. Meski sebentar.

Kali ini dia seolah menghindari tatapanku. "Yah bilang saja"
Hanya itu yang keluar dari mulutnya.

"Tampaknya kamu bahagia dekat dengan Tere, Sen," kataku lalu berhenti sebentar. Aku terbunuh dengan kata-kata yang kuucapkan sendiri.

Aku kini mengerti. Latihan bersama Dian semalam tak terlalu membantu. Benar saja lidahku benar-benar repot mengeluarkan kata-kata saat berada dekat sekali dengannya.

"Yang bersamamu nanti juga akan bahagia, Yos"

Mulutku tertutup rapat. Aku mengerti ucapannya.

"Sen, aku duluan yah, aku ada urusan"
Berlalulah perempuan ini dari hadapannya. Aku tak mau raut wajah kecewaku dibacanya. Kesayanganku.

Sebelum PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang