9. Dimensi Gaplek

11.2K 1.2K 19
                                    

         Dengan langkah pasti, Kuvvi berjalan ke luar kelas. Menyusuri setiap koridor, berharap langsung menemukan seseorang yang sedang dicarinya. Tanpa rasa was-was, Kuvvi terus berjalan mengelilingi sekolah yang baru saja ia kenal. Tak ada rasa takut tersasar mengingat ini hari pertamanya di sekolah Kusuma Bangsa. Kalau pun ia tersesat, ia bisa bertanya pada orang yang ditemuinya. Seperti kata pepatah, malu bertanya, sesat di jalan.

Belum lama berjalan, Kuvvi sudah kebingungan. Ia mentok di ujung koridor, tepatnya di depan sebuah ruangan. Di atas pintu, tertulis perpustakaan. Cewek itu memutuskan untuk masuk ke ruangan tersebut. Siapa tahu, cowok yang dicarinya berada di sana. "Kan Ansel mau tidur, kali aja dia di perpus. Kan di sana tenang banget."

Ia melepas sepatu lalu mengisi buku absen, menuliskan namanya namun berhenti salah di kolos kelas. "Aku lupa kelas berapa. IPS dua atau tiga, ya?" Kuvvi pun memutuskan untuk menulis kelas IPS saja.

Di dalam ruangan yang tenang itu, ia hanya melihat penjaga perpustakaan dan dua siswi yang salah satunya tampak fokus membaca novel lama. Lalu satunya lagi memainkan ponsel di balik buku bacaannya. Kuvvi menghampiri mereka, menyapanya sok kenal sok dekat. "Permisi, kalian lihat Aan, nggak?" ucapnya pelan-pelan. Takit didengar penjaga perpustakaan.

"Aan?" tanya mereka bingung.

"Maaf, Ansel. Anak IPS, yang hidungnya mancung, lihat, nggak?" tanyanya lagi.

Bibir mereka membentuk huruf o. "Ansel mana pernah ke perpus," jawab salah satu dari mereka.

"Ada yang tahu dia ke mana?" Kuvvi terus bertanya lagi.

"Paling ke markasnya," jawab cewek satunya. Lalu ia bertanya apakah Kuvvi anak baru. Karena muka Kuvvi asing baginya.

"Iya, anak baru. Oh iya lupa, salam kenal, aku Kuvvi." Kuvvi mengulurkan tangannya. Cewek itu masih berdiri di hadapan kedua teman barunya itu.

"Gue Seni, ini kembaran gue, Ines." Mereka menyambut uluran tangan Kuvvi.

Kuvvi agak terkejut, ternyata mereka saudara kembar.  "Lo bingung karena muka kita nggak mirip?" tebak Seni tepat sasaran.

"Udah banyak yang bilang gitu. Malah ada yang bilang kami bohong," jawab Ines santai.

"Iya, soalnya beda. Tapi sama-sama cantik, kok," jawab Kuvvi seraya tersenyum.

"Nggak usah ninggiin kita deh, Kuvvi. Baru elo yang bilang kita cantik. Banyak yang bilang kita itu item. Mana ada cantik," Ines berkata jujur.

"Bukan hitam. Tapi, coklat eksotis gitu. Aku malah pingin punya kulit gelap. Orang yang punya pigmen putih pas kena sinar matahari tuh sering banget terkena sunburn. Aku aja kalo udah panas-panasan biasanya muncul bercak dan bintik merah di muka sama tangan."

"Tapi, persepsi orang kita kebanyakan bilang kalo cantik itu putih," ujar Seni menanggapi.

"Padahal, orang yang kulit gelap tuh kesannya kayak hangat aja gitu," tambah Ines.

"Iya, aku juga kesel. Please deh! You're beautiful just the way you are!" ujar Kuvvi berapi-api.

"Dimohon jangan berisik!" tegur penjaga perpustakaan. Saking asiknya ngobrol, mereka jadi tak sadar telah mengeluarkan suaranya agak besar.

"Maaf, Pak!" ucap mereka bersama.

"Kalian tahu, nggak, di mana markas Aan, maksud aku Ansel?"

"Gue kasih tahu, ya. Tapi gue nggak bisa ngenterin elo. Lo bisa ke sana sendiri?" tanya Ines memastikan.

"Bisa. Tapi, jelas-jelas, ya." Kuvvi melihat buku sidu yang ada di atas meja, "Boleh minta selembar? Tolong tulisin denahnya di sini, boleh?"

"Iya." Ines menjelaskan seraya menggambarkan denah menuju markas Ansel.

DIMENSI (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang