"Uya sakit, Sel." Ucapan Awe terus terngiang di benak Ansel.
Ansel mengantar Uya pulang. Sepanjang perjalanan, tak sepenggal kalimat pun terucap, keduanya hanya diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hanya terdengar suara motor Ansel dan kendaraan orang lain.
Uya menolehkan kepalanya menatap jalanan, sementara Ansel fokus mengendara. Sudah lama mereka tidak bertemu semenjak kejadian terakhir. Hingga di depan rumah Uya, Uya pun berbasa-basi. "Thank's, Sel. Makasih udah ngizinin meluk pinggang lo. Apa kabar lo, Sel? Masih marah?"
"Berobat, Yak." Bukannya menjawab, Ansel malah menyuruh Uya untuk berobat.
"Gue nggak sakit," kilahnya. Uya memang masih bisa berdiri, tapi wajahnya tidak terlihat sehat.
Orang paling tidak peka pun bisa tahu mengenai hal itu. "Lo sakit."
"Iya, ntar abis minum paracetamol juga sembuh."
"Nggak ada yang mau lo omongin, Sel?" Ansel diam saja. "Lo bisa nampar gue sekarang." Uya mempersilahkan Ansel melakukan apa pun, ia akan menerimanya. Asal ia tidak kehilangan orang yang sangat berarti baginya.
Semuanya sudah selesai, tak ada alasan bagi Ansel untuk melakukannya dan ia juga tidak menginginkannya.
"Gue masih sayang sama lo. Lo nggak boleh move on secepet ini, Sel!" aku Uya lantang. "Kita udah lama pacaran, Sel."
"Gue nggak tertarik ngomongin masa lalu," telak Ansel. Ia takkan pernah merebut kembali sesuatu yang pernah dibawa pergi darinya. Karena baginya, itu hanya suatu hal yang sia-sia. Masa lalu memang harus berlalu.
Ansel menyuruh Uya untuk masuk ke rumah. "Gue pulang."
"Mampir dulu, Sel. Masuk dulu, ngobrol, ngopi-ngopi." Ansel menolak, mereka tidak harus melakukan itu.
Uya menahan lengan Ansel, "Kita nggak boleh saling melupakan dan move on semudah ini, Sel!"
Ansel meminta Uya jangan salah paham, baginya, Uya sudah tidak berarti apa pun.
Seperginya Ansel, Uya duduk di teras rumahnya. Wajahnya lesu seperti tak ada semangat hidup. "Ngelamun lo!" Suara cowok membuyarkan lamunan Uya.
"Ansel bisa nggak sih, nggak sedingin itu sama gue. Gue ngerasa kayak terpojok banget. Gue tahu gue memang jahat, tapi gue kan udah minta maaf."
"Maaf aja nggak cukup buat kita, Yak." Awe duduk di sebelah Uya.
Uya menengadah, lalu memejamkan matanya. Awe benar, permintaan maaf saja tidak cukup untuk sebuah kekecewaan. Bahkan tidak akan pernah cukup. "Gue nggak tahu lagi musti gimana."
"Semuanya akan membaik."
"Gue ngerasa bodoh, udah ngajakin Ansel balikan cuma karena nggak rela dia deket sama sepupu lo." Uya tersenyum getir, menyesali perbuatannya.
"Gue ngerasa kalah, We," ucapnya lagi.
"Masalah kayak gini, mana ada kalah menang, Yak. Udahlah. Fokus aja sama kesehatan lo, nggak usah mikir yang aneh-aneh."
"Gue nggak sakit parah, Awe!" Awe lantas terbahak mendengarnya.
"Lo kenapa sih, selalu ada buat gue?" tanya Uya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMENSI (Completed)
Fiksi Remaja[FOLLOW SEBELUM MEMBACA♡] Dulu, ketika dompetku kecopetan, aku berdoa supaya uang bergambar monyet di dalamnya digunakan untuk kebaikan. Lalu, saat aku kehilangan ponsel esia hidayahku, lagi-lagi aku berusaha mengikhlaskannya. Aku pernah merasakan...