Kuvvi masih melahap potongan sosis di seblaknya. Kuah merah itu ia hirup dengan sendoknya. Pedas, tapi sungguh nikmat. Ternyata, seblak di jakarta tidak kalah enak sama seblak di Bandung. Emak Selena emang the best. "An, cewek tadi pawang kamu?" tanyanya pada Ansel yang masih menikmati bakso di mangkuknya. Sedari tadi, Kuvvi memang yang mendominasi pembicaraan. Sementara Ansel menjawab sekenanya saja. Kalau pertanyaan Kuvvi tidak harus ia jawab, ya ia tidak akan jawab.
Seperti,
"An, kamu kalo tidur, suka ngantuk gak?"
"An, gantengan andika kangen band atau dide ijo daun?"
"An, panir gigi biar kayak gigi artis yang putih banget bisa pakek BPJS?"
"An, kalo bawang merah dicemplungin ke bayclin bisa jadi bawang putih?"
"An, kalo aku lihat dari deket. Ternyata kamu ganteng beneran, ya. Aku pikir cuma gimmick."
Dan masih banyak pertanyaan-pernyataan jayus lainnya. Kalau pertanyaan seperti itu, Ansel rasa tidak dijawab juga tak masalah. Orang yang bikin pertanyaan tidak bermaksud untuk dijawab.
"An? Jawab keles. Diem mulu dari tadi kayak HP yang di-silent." Kuvvi berkomentar karena sedari tadi ia seperti ngomong sama patung hokben.
"An, cewek tadi pawang kamu?" tanya Kuvvi sekali lagi.
"Hah?"
"Yaelah, emang aku keong. Sekalinya jawab, dihawain hah dulu," keluh Kuvvi. "Anu, cewek tadi, pacar kamu?"
"Hm."
"Udah lama pacaran? Aku mau izin nikung, mumpung kalian masih pacaran." Kuvvi berujar dengan polosnya. Tak lupa seraya menyengir kuda.
"Kalo udah putus juga gue gak mau sama elo!" desis Ansel begitu tajam.
"Sekalinya ngomong gitu banget. Nusuk banget tahu, An. Lihat aja, suatu saat kamu bakal suka sama aku." Sedetik kemudian Ansel tertawa renyah.
"Ih ganteng," puji Kuvvi. Kini mata Kuvvi tak lepas dari cowok ganteng di hadapannya. Bodo amat kalau Ansel tertawa karena meremehkannya, yang penting ia bahagia bisa melihat Ansel tertawa untuk yang pertama kalinya.
"Sering-sering ketawa, An. Ganteng," kata Kuvvi menyarankan. Ansel hanya memutar bola matanya, malas.
"An, boleh nanya, gak?"
"Dari tadi lo ngapain?" ucap Ansel dingin. Cewek di depannya ini sungguh mengherankan.
"Oh iya, dari tadi kan aku nanya terus." Kuvvi terkekeh sekali lagi. "Tanya dong, iya dong. Ada rencana mau putus, gak?"
"Gak."
"Gak salah lagi? Kapan putus? Gimana kalo nanti aja, pas kamu udah mulai suka sama aku. Lama-lamain dulu aja, gakpapa. Biar kerasa sensasinya." Ansel benar-benar tidak habis pikir sama cewek berkuncir satu ini.
"Weird."
"Yes, I am." Kuvvi tersenyum tanpa dosa. "Aku boleh nebak gak, An?" tanya Kuvvi basa-basi.
"Serah lo."
"Pasti yang nembak duluan, cewek itu kan? Bukan kamu." Ansel yang sedang memakan kacang yang ada di dalam gelasnya lantas terhenti. Dari mana cewek ini tahu?
"Ntar kalo kita mau jadian, kamu harus berani nembak ya, An. Walaupun aku yang ngejer kamu duluan, aku gak mau lhoo nembak kamu duluan." Sekarang cewek ini berlagak pede sekali. Ansel hanya menulikan pendengarannya. Tak ada hal yang lebih penting selain menghabiskan kacang es di gelasnya.
"Aku tahu kamu denger."
"Diem."
"Iya, tapi nanti pinjem duit ya buat bayar ini." Kuvvi menunjuk mangkuk dan gelas kosong yang ada di atas meja. Jangan tanya isinya sudah ke mana, sepertinya mangkuk dan gelas itu bocor. "Soalnya aku gak bawa dompet. Kan tadi buru-buru."
![](https://img.wattpad.com/cover/137161623-288-k717511.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMENSI (Completed)
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA♡] Dulu, ketika dompetku kecopetan, aku berdoa supaya uang bergambar monyet di dalamnya digunakan untuk kebaikan. Lalu, saat aku kehilangan ponsel esia hidayahku, lagi-lagi aku berusaha mengikhlaskannya. Aku pernah merasakan...