59. Dimensi Kamar Mayat

7.8K 1.1K 1.1K
                                    

Nggak ada target, tapi besok bisalah update lagi kalo 1000 comment *ketawajahat*, kalo nggak bisa yaudah, selow aja, besok atau besoknya atau besok2nya atau besok besok besoooooooooooooooooooooooooknya lagi updatenya, ditunggu aja sambil nyantai2 wkwkwk tapi pasti update kok, tenang

Nggak ada target, tapi besok bisalah update lagi kalo 1000 comment *ketawajahat*, kalo nggak bisa yaudah, selow aja, besok atau besoknya atau besok2nya atau besok besok besoooooooooooooooooooooooooknya lagi updatenya, ditunggu aja sambil nyantai2 ...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mulut Ansel mengunyah roti rasa keju, namun pikirannya mengambang, sebenarnya apa yang membuat para cowok melirik Kuvvi? Mulai dari yang muda, tua, preman, hingga orang gila. Sungguh hal itu mengganggu pikirannya.

"Lo mau jadi pacar gue?" Pertanyaan Ansel benar-benar membuat jantung Kuvvi berhenti berdetak untuk sesaat. Mereka berhenti di depan pintu tua berwarna coklat, di atas pintu ada tulisan Mortuary, tampaknya itu adalah kamar mayat.

Kuvvi mengambil langkah mundur, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Tatapannya kosong.
"Kuvvi?" Ansel menyadarkan cewek itu.

Kuvvi yang tersadar, lantas menghela napas lalu menatap Ansel, matanya menatap secara mendalam, begitu lembut, sungguh tak ada kebohongan.

Kuvvi merasa terombang-ambing akan sikap Ansel ini.

"Hei?" panggil Ansel lagi.

"Kamu udah nyuruh aku berhenti, An." Kuvvi memang belum bisa move on, karena susah, tapi ia sudah berusaha menghentikan perjuangannya, sesuai kata Ansel waktu itu.

Penolakan halus Kuvvi membuat tatapan Ansel menjadi sedih, "Gue nyesel." Menyesal karena menyuruh Kuvvi berhenti.

Kuvvi meyakinkan berkali-kali kalau keputusannya kali ini tidak salah. Tapi ia selalu terbayang momen bersama Ansel. Ia mencoba mengenyahkan pikiran itu namun terus teringat.

Kini, gantian Ansel yang menjelaskan. Pertama-tama ia meminta maaf karena terlambat menyadari perasaannya. Karena terlalu lama, Kuvvi jadi lelah dan menyerah. Namun, Ansel menghargai keputusan Kuvvi.

Tapi, Ansel berharap, Kuvvi juga bisa menghargai keputusannya kalau dirinya akan tetap menyukai Kuvvi dan tak akan pernah berhenti.

Ansel juga tidak akan membuat Kuvvi stres karena perasaannya itu. Ia akan menunggu sampai Kuvvi mengubah pikirannya. "Lo bisa coba pelan-pelan."

Kuvvi mematung di tempatnya. Bagaimana tidak stres kalau seperti ini? Sepertinya Kuvvi lupa bernapas lagi.

"Jangan lupa napas," peringat Ansel menatap Kuvvi.

Cewek itu lantas menghela napas, menarik lalu mengembuskannya lagi.

Sementara Ansel, jantungnya berdetak cepat ketika mengutarakan perasaannya tadi. Sepertinya ia yang harus bernapas sekarang.

Kuvvi berjalan duluan ketika menyadari mereka berdiri di depan pintu kamar mayat. "Ya Allah, ditembak di depan kamar mayat, nasib, nasib."

Ansel berjalan menyusul Kuvvi. Kuvvi memberanikan diri menatap Ansel, sekali lagi. "Kamu beneran nyesel?" tanyanya setelah Ansel berjalan di sebelahnya.

DIMENSI (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang