4 - Let's Play Love Game

407 65 1
                                    

"Abang, cepetan ih. Sonya terlambat nanti!" teriak seorang perempuan seraya mengetuk-ngetuk pintu kamar Millo. Lebih tepatnya menggebraknya.

Millo yang sebenarnya sudah bersiap dari tadi segera keluar dari kamarnya. Ia menampakkan dirinya di depan adiknya dengan wajah konyol. Ia tersenyum seraya menunjukan lazy eyes nya.

Sonya mengerucutkan bibirnya. Ia selalu merasa kesal jika abangnya menunjukkan ekspresi konyolnya itu. Sedangkan Millo selalu puas menggoda adik perempuan yang umurnya dua tahun lebih muda darinya. "Jangan marah - marah dek, masih pagi tau. Bukannya sapa abangnya yang ganteng ini, lo malah teriak - teriak bikin kuping gue sakit. Rasain nanti muka lo tambah jelek," canda Millo.

"Mamah, abang nih ngeselin lagi!" pekik Sonya.

Nyonya Mahendra, ibu dari dua kakak - beradik yang kini tengah berada di dapur menggelengkan kepalanya. Dia capek tiap hari mendengar dua anaknya itu bertengkar untuk masalah - masalah kecil. "Abang jangan gangguin Sonya! Cepet berangkat, nanti terlambat!"

"Iya Mah!" balas Millo. "Gue duluan yang ke bawah," ujar Millo.

Sonya memutarkan bola matanya malas. Dia berkata tanpa bersuara, "Bodo, gak peduli."

Dan sikap adiknya yang seperti itu malah membuat Millo semakin gemas untuk tak menjahilinya. Millo dengan sengaja menguyel - uyel kepala Sonya, hingga rambut Sonya berantakan.

"Millo Mahendra, kurang ajar ya lo!" teriak Sonya sewot, mukanya sudah memerah seperti kepiting rebus. "Awas ya bang gue gak mau cari tau tentang kak Jia lagi. Pokoknya nggak, bodo amat! Biarin kak Jia punya pacar, biar lo jomblo sampai mati!"

Millo memeletkan lidahnya. "Sorry, gue udah mulai deket sama Jia. Gue punya rencana sendiri, gue gak butuh lo lagi." Millo mendorong kepala Sonya dengan telunjuknya.

"Mamah, abang Millo jahilin aku terus!"

"Millo, stop it being childish!"

"Iya iya!"

***

Jiayu Tiara Adhiyaksa, cewek itu kini tengah menyatukan kedua tangannya seperti tengah berdoa. Matanya terpejam seraya menggumamkan kata -kata. "Semoga cowok itu masuk sekarang juga. Semoga dia datang pas namanya belum dipanggil. Semoga gue gak kena marah bu lampir lagi, Amin. Ya Allah tolong kabulin doa Jiayu."

Kaelyn menatap sahabatnya itu dengan tatapan aneh. Ia terus menggelngkan kepalanya. Kaelyn memang biasa melihat Jia bersikap seperti itu saat pelajaran PKN. Namun, bedanya kini cewek itu berdoa lebih panjang dan lebih khusyuk seolah sedang sholat. Ini sungguh konyol.

Mata Jia terbuka ketika giliran absen 21 yang disebut.

"Millo Mahendra!"

Jia cepat-cepat menundukan wajahnya saat nama itu diabsen. Millo kini tak hadir di pelajaran Sejarah dan berarti itu bukan berita yang baik untuk Jia.

"Kemana lagi itu si pembuat onar?" tanya seorang guru di depan sana.

Nafas Jia tertahan. Ia menunduk takut.
Gue kena lagi pasti, batin Jia.

"Jiayu kemana kawan sekelasmu?!"

Mata Jia membulat saat namanya di panggil si guru killer tukang makan murid itu. Jia mendongakkan wajahnya dengan  takut. "Saya tidak tau bu."

"Kamu itu ketua kelas, seharusnya kamu bisa menertibkan teman-teman kamu. Cepat cari dia sekarang!" serunya memarahi Jia seperti biasa,

"Baik bu."

Jia segera berjalan keluar. Saat sudah berada cukup jauh dari kelasnya. Jia menggerutu. "Dasar guru killer, nenek lampir. Ih nyebelin, awas aja si susu Millo kalau ketemu."

.

.

.

.

"Millo Mahendra!" seru Jia.

Akhirnya Jia menemukan Millo, setelah ia kelelahan berkeliling di penjuru sekolah. Dari lantai tiga ke lantai dua, lalu turun lagi ke lantai 1. Jia menemukan cowok itu baru saja keluar dari dalam Mushola. Mungkin habis tidur, pikir Jia sok tau.

Telunjuk Jia masih menunjuk Millo. Wajahnya sudah memerah karena emosi yang ia bendung sedari tadi.

Dan Millo yang baru saja duduk di teras mushola mendongakan wajahnya reflek, karena mendengar nama lengkapnya dipanggil.

"Lo dicariin sama bu Winda," ujar Jia.

"Terus?"

"Ya, cepet ikut gue balik ke kelas."

Millo berdiri dan membuat dirinya kini berhadapan dengan Jia. "Gue gak mau ikut," ucapnya seraya tersenyum miring.

"Pokoknya ikut, kalau nggak..." Jia menjeda ucapannya ia bingung harus mengancam apa?

"Atau apa?" tanya Millo seraya menaik turunkan alisnya.

"Atau nggak, gue gak mau ngerjain tugas akuntan lo!" ancam Jia.

Millo terkekeh. "Gue tarik ucapan gue waktu itu, kayaknya lebih menarik kalau lo jadi guru privat gue."

Jia baru saja mau membuka mulutnya untuk menyuarakan protesnya. Tapi tangan Millo sudah lebih dahulu membekap mulutnya. "Nggak ada penolakan, tenang gue bakal bayar."

***

Say Hi! Millo(ve)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang