32 - Hipotesis

204 38 1
                                    

H-2 pembagian raport dan juga H-2 Millo berangkat ke Kanada. Karena mengetahui sebentar lagi dirinya tak akan bertemu dan bertatap muka langsung dengan Jia. Millo selalu berada di dekat Jia.

Seperti hari ini ketika porak masih berlangsung. Millo selalu mnghimbau Jia agar ada ketika dia bermain. Millo memang berpartisipasi sebagai salah satu  perwakilan kelasnya untuk mengikuti beberapa turnament diantaranya futsal, basket, dan bola voli juga.

"Kamu diem aja di sini jangan kemana-mana waktu aku main," ujar Millo.

Jia mengangguk patah-patah. Dia mencebikan bibirnya, Jia bosan mendengar perkataan Millo yang terus diulang-ulang. Padahal beberapa menit yang lalu Millo juga berkata demikian kepada Jia.

Kekesalan Jia bertambah-tambah kepada Millo setelah pulang dari sekolah.

"Kamu besok jangan kemana-mana di rumah aja," ucap Millo setelah membukakan pintu mobil untuk Jia.

Jia menatap Millo sekilas lalu melangkah memasuki pekarangan rumahnya. Terdengar langkah kaki mengikuti Jia. Millo mengekorinya. Dan membuat Jai menghela napasnya, dia berbalik menghadap kepada Millo.

"Kamu gak usah protektif. Apa hak kamu ngelarang aku pergi keluar!" ujar Jia.

"Aku cuman khawatir Jia," ujar Millo lembut. Dia mencoba meraih tangan Jia. Tapi, Jia dengan sigap menyembunyikan tangannya di belakang punggungnya.

"Apa sih yang kamu sembunyiin dari aku, sampe kamu bersikap overprotektif gini sama aku?"

Millo diam, dia tak mungkin menjelaskan bahwa dirinya mencari tau dalang dari teror bunga itu. Jelas-jelas Jia melarangnya melakukan itu.

"Kamu cari tau masalah buket bunga itu kan?!"

"Aku gak pernah cari tau!" kilah Millo.

"Kamu jelas-jelas bohong. Emangnya aku gak tau kamu diem-diem ngehubungin Sandy minta semua buket bunga itu? Aku udah bilang jangan perduliin itu."

Millo terdiam. Mau mengelak tapi semuanya memang benar. "Ck, anak itu,"

"Jangan coba salahin Sandy," ujar Jia. "Aku udah bilang gak usah perduliin masalah ini. Jangan dibesar-besarin. Cuman buket bunga aneh gak akan bikin nyali aku ciut."

Tatapan Millo yang semula bersahabat kini telah berganti dengan sorot tajam dari iris mata berwarna cokelat madunya. "Kamu bilang gitu karena gak tau apa yang terjadi ke beberapa orang yang pernah dekat sama aku sebelum kamu," tegasnya. "Aku gak lagi ngebesar-besarin masalah justru aku lagi cari cara biar masalah ini gak makin berlarut-larut," tambahnya.

Tak perlu mendengar jawaban Jia. Millo memilih melenggang pergi. Dia tak memperdulikan teriakan Jia untuk berbalik kembali.

***

082247345xxx : Gimana? Enak gak rasanya punya pacar kayak Jiayu Tiara Adhiyaksa?

082247345xxx : Lebih baik gue kan dari dia. Asal lo tau Millo, kalau seandainya lo pilih gue yang jadi pacar lo dulu. Gue bakal selalu nurut sama lo, bukan kayak si Jiayu. Apa menariknya sama cewek itu? Gue lebih cantik dari dia dan gue bisa lakuin apapun yang lo mau.

"Dasar psycho!" seruan diutarakan Millo untuk si pemilik nomor misterius itu.

Millo mencoba mendial nomor ponsel itu. Tapi, tetap saja panggilannya tak pernah diangkat. Sudah dari dua hari yang lalu nomor itu menghubungi Millo, mengirimkan beberapa pesan memuakan. Dan selama itu juga setiap Millo mencoba mendial nomornya berulangkali, panggilannya tak pernah satupun ada yang diangkat.

"Fuck!" umpat Millo.

Millo memutar otaknya. Di
Mencari cara lain yang dapat membongkar identitas orang ini.

Terlebih dahulu dia menghubungi adiknya, Sonia. Dia mengirimkan sebuah pesan yang berisi meminta kontak Rina. Beberapa menit kemudian Sonia mengirimkan nomor Rina. Beruntung adiknya itu tak banyak tanya lagi seperti malam kemarin Millo curhat via telepon kepadanya.

Millo mencoba mencocokkan nomor Rina dengan nomor misterius di ponselnya. Tapi, nomor tersebut sangat berbeda. "Apa mungkin dia pakai nomor yang lain?"

Sebenarnya Millo malas untuk menghubungi mantannya yang satu ini. Tapi, mau bagaimana lagi dugaannya saat ini mengarah kepada Rina.

***

"Lo udah dimana?"

"Meja nomor tujuh."

Millo mengarahkan pandangannya ke segala penjuru arah. Mencari letak meja nomor tujuh. "Yang duduk bareng cowok?" tanya Millo ragu.

"Iya."

Dengan langkah panjang Millo segera menghampiri cewek itu yang tak lain adalah mantannya Rina. "Lho Sandy," ujar Millo yang terkejut mendapati cowok yang tengah duduk bersama Rina, tak lain adalah adik kekasihnya sendiri.

"Bang Millo, ngapain ke sini? Kak Jia ada di rumah." ujar Sandy nampak dahi Sandy juga berkerut.

"Lo kenapa bareng dia dek?" tanya Millo yang ditunjukkan untuk Sandy.

"Oh, ini kenalin bang pacar gue, Rina," jawab Sandy.

Jawaban Sandy membuat Millo semakin mengeryitkan dahinya. Bagaimana bisa Rina dan Sandy saling mengenal ditambah mereka berdua pacaran.

"Mau ngapain ketemu gue kak?" tanya Rina.

"Oh, jadi kak Millo. Mantan kamu yang ngajak ketemuan," timpal Sandy.

"Hehe iya, kan aku bilang pacar kakak kamu," jawab Rina.

"Ya, mana aku tau kakak aku kan ada dua."

Sepasang kekasih yang umurnya beda satu tahun itu malah berbicara berdua. Dengan sengaja Millo menendang kaki meja yang menimbulkan suara gaduh dan  tentunya membuat perhatian sepasang kekasih itu terarah kepada Millo.

"Rin, lo ngerasa lagi neror pacar gue gak?" tanya Millo to the point sekali.

Rina mengeryitkan dahinya.

"Teror apa sih bang? Masa Rina neror kak Jia atas dasar apa?"

Millo memejamkan matanya sejenak. Dia kesal karena Sandy berada di antara pertemuannya dengan Rina. Sumpah, Sandy ini menghambat proses investigasi Millo.

Rina tertawa. "Gue bukan anak SMP lagi kak. Buat apa gue neror cewek yang notabenenya kakak pacar gue sendiri? Gak ada faedahnya banget."

"Halah, ngaku aja deh lo. Gue masih inget ya dulu lo sering neror cewek-cewek yang deket gue!"

"Bang, gak usah nyolot sama cewek gue! Dia bilang kan bukan dia."

"Sandy lo bisa diem aja gak?!"

"Eh, tapi seminggu lalu ada akun aneh yang dm gue di ig sih," ujar Rina. "Dia tanya-tanya tentang hubungan gue dulu sama lo gimana," tambah Rina.

Millo menatap Rina. "Mana coba gue lihat isi dmnya," ujar Millo.

"Gak bawa hp. Gue kirim capture'an nya nanti ke lo."

"Oke, pastiin lo kirim semua isi pesannya."

Rina manggut-manggut. "Udah kan? Lo bisa pergi sekarang gak kak, ganggu gue tau gak."

Millo menatap Rina tajam. Dalam hati dia merutuki dirinya yang mau saja berpacaran dengan si menyebalkan Rina dahulu. Dan ini kenapa Sandy malah mudah diperdaya oleh cewek itu. Satu lagi, kenapa bumi terasa semakin sempit? Hingga semua orang yang dia kenal kenal juga dengan orang yang pernah Millo kenal.

Say Hi! Millo(ve)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang