Special Extra Part 1 - Kapan Nikah?

195 28 5
                                    

7 years later

Sebenarnya Jia tak keberatan setiap menyambangi kediaman Shindy beberapa hari ini di bulan Mei. Disela-sela pekerjaannya yang memang tak begitu padat, karena memang yang menjadi si pengantin pria Shindy adalah atasan Jia di NGO. Hanya saja yang membuat Jia tak tahan saat berkunjung ke rumah Shindy adalah Indra pendengarannya yang selalu dicekoki celetukan beberapa keluarga Shindy dan teman-teman dekatnya yang menyarankannya agar segera mengikuti jejak Shindy.

Seperti sore ini ketika Shindy tengah menjalankan beberapa tetek bengek terkait proses pingitan. "Ayu kapan nyusul?" tanya ibu Shindy yang terbiasa memanggilnya Ayu kepada Jia.

Jia menyunggingkan senyumnya terpaksa. "Nanti bu, kalau udah kelihatan jodohnya. Jodoh Ayu nya lagi sembunyi dulu, belum siap katanya," ujar Jia seraya melempar tawa.

Ibu Shindy tertawa kecil. Dia mengelus wajah Jia penuh kasih sayang. "Ibu doain kamu cepet ketemu jodohnya, biar ibu nanti bisa jodohin sama cucu."

Shindy yang tengah luluran tentunya menyimak percakapan kedua orang yang dia sayangi itu. Bola mata berwarna hitamnya melirik Jiayu, mencoba menyalurkan kekuatannya karena omongan ibunya yang kadang membuat elus dada. "Ibu, udah jangan gangguin Jia mulu." Shindy memperingati ibunya.

Ibu Shindy tersenyum. "Kamu mau ibu kenalin sama sepupu Shindy gak?"

"Ibu!" seru Shindy.

Jia mengerjap-ngerjapkan matanya. Duh, selalu saja seperti ini. Digoda tak kunjung nikah di umurnya yang sudah hampir 26, lalu diberi tawaran diperkenalkan kepada seorang laki-laki. Jia tak mau ngebet nikah sebenarnya. Tapi, kalau terus-terusan seperti ini malas juga kalau harus terus sendiri. Ditambah setiap ke kondangan teman seangkatan SD, SMP, SMA, dan Kuliahnya. Tapi, yang paling parah teman sekelasnya saat SMA yang terus saja meneror Jia dengan pertanyaan 'kapan nikah?'. Mereka selalu menggoda Jia untuk cepat cari calon imam. Ya, mau bagaimana. Orang itu jodoh Jia tak kunjung menampakkan eksistensinya. Memangnya menikah segampang melayangkan pertanyaan kapan nikah apa?

Jia mengarahkan pandangannya kepada Shindy yang baru saja menyelesaikan proses lulurannya. "Ndy, gue pulang aja ya. Gue pengin nangis digoda mulu sama orang-orang," ujar Jia dengan wajah melas.

Shindy tertawa mendengar ucapan Jia. "Sabar ya Ji. Maklum lo yang terakhir diantara Gue sama Kaelyn yang nikah."

"Huhu, jodoh gue kemana sih gak muncul-muncul perasaan. Apa jodoh gue emang gak ada ya?"

Shindy menyentil dahi Jia dengan jarinya. "Hush, jangan ngomong gitu. Pamali!" tegasnya.

"Ya abis," Jia mengerucutkan bibirnya tak mau melanjutkan perkataannya.

"Udah gak usah kepancing omongan orang yang nyuruh cepet nikah. Nanti juga kalau udah waktunya lo kayak gini. Ya, lo nya yang sabar aja. Mungkin ini belum waktunya Allah pertemukan lo sama jodoh terbaik dari-Nya. Santai aja ya, biarin semuanya ngalir seperti biasa. Gue juga gak nyangka dua minggu lagi mau nikah, padahal setahun yang lalu gue masih sibuk kerja, sering dibully gara-gara belum nikah, sering ditanya kapan nikah juga. Eh tau-taunya orang yang gak gue sangka malah ngelamar gue sebulan yang lalu."

Jia tersenyum haru mendengarkan nasehat Shindy. "Iya, amin. Tapi gue gak mau dipingit gini kayak lo. Ribet banget Ya Allah. Gue aja yang tiap hari cuman lihatin udah geleng-geleng kepala."

"Kemauan calon suami gimana dong?" jawabnya.

"Haha, Calvin emang cinta tanah air banget sih."

***

Jia malam ini memilih menginap di rumah Shindy, dia tak mau berdiam diri di rumah kalau sendirian. Beberapa menit yang lalu kedua orangtuanya mengirim pesan kalau mereka pergi ke Yogyakarta untuk mengunjungi Sandy si anak UGM. Iya adiknya itu memang sekarang adalah mahasiswa UGM jurusan Manajemen dan Bisnis.

Jia tengah berbaring di kasur Shindy seraya memainkan ponselnya. Dia membuka akun Instagramnya. Melihat-lihat apakah ada yang menarik. Dan perhatiannya jatuh pada satu post'an foto yang baru 30 menit yang lalu dikirim.

Cukup lama Jia memandangi foto itu dan membaca berulang kali caption satu kata yang berbunyi 'Indonesia' ditambah emoticon pesawat terbang dalam hatinya.

"Cie... yang lagi stalking mantan," ujar Shindy yang baru saja ikut membaringkan tubuhnya di kasurnya.

"Kebetulan lewat," jawab Jia sekenanya.

"Ah masa? Lo kan unfollow akunnya," ucap Shindy seraya menekankan kata unfollow.

Jia menoleh kepada Shindy sejenak untuk melemparkan raut wajah merajuknya. "Huh, iya gue unfollow. Gue emang stalking dia tadi, puas Ndy?"

"Belum puas gue." Shiny menjeda ucapannya. "Lo masih suka Millo?"

"Gak tau," jawab Jia.

Jia memiringkan tubuhnya menjadi menghadap kepada Shindy yang sudah dulu memiringkan tubuhnya.

Shindy tertawa. "Siap-siap deh lo ketemu dia seminggu lagi. Inget jangan sampai nganga itu mulut, soalnya mantan lo ini makin ganteng ampun-ampunan."

"Ampun-ampunan apaan? Yang ada aura pengantin di depan gue nih, yang makin ampun-ampunan," ujar Jia.

Shindy tertawa kecil. "Oh, iya dong. Udah dipingit 3 minggu, tentunya gue makin cantik," ujarnya berlagak sombong. Tapi, malah terdengar menyedihkan di telinga Jia. Yang namanya dipingit banyak gak enaknya, jadi gak perlu tuh disombongkan.

"Tapi beneran loh Millo makin ganteng Ji," ulang sindy kembali.

"Ya, kalau ganteng tapi sifatnya sama kaya dua tahun lalu buat apa coba?" ujarnya.

"Gak kangen sama mantan bobo bareng lo itu?" tanya Shindy dengan enteng.

Jia hanya tertawa. Dia tak marah shindy mengungkit tentang bobo bareng. Ya, walaupun sampai kini memori itu terus menghantuinya. Bagaimana tidak, masyarakat akan mencap Jia bukan perempuan baik-baik. Ya, fakta itu juga membuat Jia sungkan ketika pria yang mendekatinya. Dia takut mereka tak menerima Jia apa adanya.

"Gue kangennya sama Millo pas zaman SMA. Yang masih imut-imut itu. Bukan Millo yang suka bobo bareng," jawabnya.

"Maaf bukan bermaksud ngungkit. Ya, tapi gue kesel sama tuh anak. Bisa-bisanya gituin lo. Kalau dia sayang sama lo harusnya dia ngejaga lo sampai married. Dan itu cowok pas putus bukannya mohon-mohon buat lo balik lagi. Lah, ini gak ada effort nya banget. Seharusnya dia samperin lo ke sini. Bukannya diem di sana, minta lo balik cuman dengan cara chat sama telpon. Banci banget."

Jia menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tangannya menutupi kedua telinganya. "Udah-udah, gue gak mau ngedenger nasehat lo. Gue malah tambah down tau gak," ujarnya.

Shindy menghela napasnya. "Gue tau yang lo takutin. Atas dasar itu lo nolak semua pria yang deketin lo. Ji coba deh singkirkan semua pikiran negatif itu. Gue yakin kok masih ada yang mau nerima lo. Lo liat Kaelyn deh, ya bukan contoh yang baik sih. Tapi, ada yang serius sama dia. Nerima Kaelyn apa adanya dan tulus sayang sama tuh anak sampai sekarang anaknya udah dua aja. Coba lo singkirin insecure nya lo itu," nasehat Shindy.

"Duh, gue kelilipan jadinya. Lo sih hehe." Jia menyeka air matanya yang mulai merembes keluar yang semula dibendungnya di kelopak mata.

Shindy tersenyum simpul. Dia memeluk Jia seraya menepuk punggung sahabatnya itu, sebagai bentuk menyalurkan empatinya.

"Ndy, gue masih suka Millo tapi. Apa sebaiknya gue move on dan lupain dia aja ya?"

"Kalau itu pilihan lo, gue ngedukung."

***

A/n : Ini sebenernya extra chapternya yang 2019 pernah aku tulis dan gak akan ada sequelnya lagi buat ke depannya. Aku nyerah nerusan If I Can't Have You maaf. Gara gara kelaman dianggurin jadi aku lupa plotnya dan aku lupa simpen kerangka karangannya dimana.

Say Hi! Millo(ve)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang