6 - Her Problem

349 60 0
                                    

Jia menapakkan kakinya di kediamannya. Dia sangat lelah hingga ingin segera berbaring di kasurnya yang pasti terasa empuk.

Namun saat ia memasuki rumahnya, nampak Ayahnya tengah duduk di sofa ruang tamu. Sorot Matanya menatap Jia dengan tak bersahabat. "Ayah udah pulang," sapa Jia mencoba berbasa-basi. Walau sejujurnya, Jia ingin segera memasuki ke kamarnya, untuk menghindari setiap perkataan yang ayahnya selalu lontarkan belakangan ini.

"Kamu udah nentuin pilihan jurusan yang mau kamu ambil?"

Jia menghela napasnya sejenak. Ia sudah tau pasti pertanyaan ini yang akan dikatakan ayahnya. "Aku tetap mau pilih Sasta Inggris, ayah kan udah tau," balas Jia.

"Kalau kamu mau belajar bahasa Inggris  kamu bisa kursus kan, gak perlu capek-capek habisin waktu buat sesuatu yang masa depannya gak jelas. Memang kamu mau jadi apa setelah lulus? Kamu mau cari kerja di perusahaan, kamu mau jadi tour guide? Kamu mau cuma jadi bawahan saja? Ayah, minta kamu pikirin masa depan kamu lebih matang. Kamu gak boleh mengecewakan kepercayaan Ayah dengan mengijinkan kamu masuk ilmu sosial," jelas Ayah Jia tegas.

Jia tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Ia kecewa dengan Ayahnya, seolah Ayahnya itu tak percaya bahwa Jia akan sukses. "Ini passion aku Ayah, seharusnya Ayah bisa terima apa yang Jia mau. Jia udah dewasa, Jia bisa tentuin mana yang baik dan mana yang buruk. Dan masuk Sastra Inggris bukan sesuatu yang memalukan. Jia tau Ayah masih menentang keputusan Jia pilih jurusan Sosial, tapi sekali aja Ayah bisa gak berpikir lagi. Ilmu Sosial itu bukan sesuatu yang buruk. Berhenti menstigma bahwa orang yang berada di jurusan sosial tidak akan sukses, berhenti menstigma bahwa semua orang sosial itu di bawah orang sains!" pekik Jia histeris, bersamaan dengan air matanya yang mulai menuruni pipinya.

Jia segera melangkahkan kakinya. Ia tak peduli dengan teriakan Ayahnya yang meminta Jia untuk berbalik kembali. Jia tak akan berbalik, dia sudah cukup mendengar penuturan orang berpendidikan tinggi yang tak lebih seperti orang tak pernah mengenyam pendidikan.

Jia memasuki kamarnya, dia melemparkan tasnya ke sembarang arah. Joa segera menaiki ranjangnya dan menelungkup kan tubuhnya, ia menelusupkan wajahnya di atas bantal seraya menangis semakin menjadi.

Seseorang mengetuk pintu kamar Jia. Jia kira itu ayahnya, tapi ternyata terdengar suara seorang perempuan. "Jia, ini bunda. Bunda boleh masuk kan sayang?"

Jia menolehkan wajahnya ke arah pintu. "Jia mau sendiri bunda!" pekiknya. Jia hanya ingin sendiri saat ini. Ia ingin menenangkan dirinya hanya seorang diri. Jia belum mau menceritakan keluh kesahnya. Biasanya juga memang seperti itu, Jia terbiasa menyimpan semua masalahnya sendiri. Sungguh berkebalikan dengan orang - orang terdekatnya yang selalu bercerita dan meminta solusi kepada Jia.

***

"Halo," sapa Jia setelah menerima panggilan dari seorang cowok di ponselnya. "Gue masih di rumah. Oh, udah di depan? Iya ini gue mau kebawah, lagi beresin buku yang mau di bawa dulu ke tas. Hmm.." Jia segera memasukan ponselnya ke dalam tas gendongnya setelah sambungan telepon berakhir.

Jia menghela napasnya lelah. Entah kenapa dia hari ini malas keluar. Mungkin efek tadi malam. Jia berjalan menuju cermin di salah satu sudut kamarnya. Matanya menatap pantulan dirinya. Tangan Jia bergerak memegang kelopak matanya. "Semoga gak keliatan kalau tadi malam gue abis nangis," gumamnya.

.

.

.

.

"Kamu mau kemana dek?" tanya kakak Jia- Erina - heran melihat adiknya yang pagi - pagi sudah rapi dengan casual style nya.

"Kamu mau kemana dek?" tanya kakak Jia- Erina - heran melihat adiknya yang pagi - pagi sudah rapi dengan casual style nya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak masalah kalau hari biasa, tapi ini hari libur. Ia hapal betul adiknya tak akan mau berpakaian rapi dan sefeminin itu. Apalagi Jia jarang sekali hangout. Sekali jalan pun jika sahabatnya mengajaknya ikut.

"Mau belajar kelompok kak."

"Are you fine?"

Jia tersenyum mencoba membuktikan bahwa dirinya baik - baik saja. Pasalnya Erina kemarin pulang setelah Jia, jadi Erina tak tau apa - apa. "Harusnya pertanyaan itu buat kakak. Kakak baik - baik aja kan?"

Erina tersenyum manis. "Emangnya kakak kenapa? Everything alright Jia, don't worry about your sister. Lagipula kakak tau cowok yang mau jadi tunangan kakak."

Jia mencebikan bibirnya. "Jangan pura - pura tegar gitu kak. Kakak kan cuma tau cowok itu, kakak belum kenal dia."

"Kamu minta kakak buat berontak?"

"Yeah, something sound like that. Udah ah, Jia gak lagi mau mellow - mellow-an. Bye, kak have fun di rumah sendiri," ujar Jia dia mengecup pipi kakaknya sekilas. "Nanti sore aku mau curhat kak," katanya sebelum pergi meninggalkan Erina.

"Iya, iya.. Hati - hati di jalan, telepon kakak kalau ada apa - apa."

Jia mengacungkan ibu jarinya. Jia melangkahkan tungkai kakinya keluar dari rumah kedua orangtuanya.

Jia keluar dari gerbang rumah dan melihat Millo berada di dalam mobilnya. Cowok itu rupanya menyadari keberadaa Jia. Millo segera keluar dan membukakan pintu untuk Jia. Tapi Millo menyadari ada sesuatu yang beda dari Jia. "Lo abis nangis ya?"

Jia menggelengkan kepalanya. "Nggak, tadi malam gue tidurnya kemaleman jadinya mata gue gini."

"Yakin?" Millo menaikan alisnya, ia masih mengira Jia menangis. Apalagi Jia terlihat melihat ke arah lain saat menjawab pertanyaan Millo. Tapi, Millo tak mau terlalu ikut campur dengan urusan Jia. Ia masih sadar diri, Jia bukanlah siapa - siapa Millo.

"Yakin susu Millo, awas dong gue mau duduk nih. Capek tau berdiri terus."

Millo tertawa kecil ia lalu membukakan pintu lebar - lebar untuk Jia. Millo menundukan tubuhnya 90° seraya berkat, "Silahkan masuk tuan putri."

"Millo ih malu tau gak, itu tetangga gue ngeliatin." Jia menundukkan wajahnya setelah masuk ke dalam mobil Millo. Karena, memang tetangga Jia pagi ini banyak yang sedang berada di jalanan komplek.

Say Hi! Millo(ve)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang