12 - Sadness

260 50 0
                                    

Rintik – rintik hujan turun ke bumi malam ini, air – air mulai berjatuhan dari langit dan membasahi jalanan ibukota. Manik mata milik Jia menatap kosong pemandangan di luar mobil. Namun hatinya masih berkecamuk, Jia tau yang dirinya lakukan tak sepenuhnya benar. Millo benar, Jia harusnya tau tempat pulang. Jia harusnya menghadapi masalah yang tengah terjadi bukannya menghindar seperti ini. Dan memang ini yang pertama kalinya Jia keluar dari rumah setelah beradu argument dengan ayahnya.

Pikiran Jia melayang pada waktu beberapa jam yang lalu bersamaan dengan mobil Millo yang berhenti saat lampu di atas sana berwarna merah.

"Kalau kamu gak keterima di UI atau ITB dengan jurusan farmasi, terpaksa ayah harus sekolahin kamu di luar negeri," ujar ayah Jia santai namun dengan nada yang terdengar tegas di telinga Jia.

"Yah," ujar Jia lirih. Lagi – lagi perbincangan seperti ini yang terjadi anatara Jia dan ayahnya. Jia sudah tak nafsu untuk menyantap makan malamnya lagi. Jia meletakan sendoknya di piring, ia menundukan kepalnya seraya menghela nafasnya panjang.

Perkataan ayahnya itu terdengar bodoh di telinga Jia. Bagaimana mungkin Jia yang notabenenya anak IPS harus mengambil prodi farmasi. Jia berpikir ayahnya sudah tak waras. Jia sangat marah kepada ayahnya yang selalu bersikap diktator.

Bunda yang tadi hanya menyimak percakapan Jia dan Ayah, kini wanita itu ikut angkat bicara. "Yah, makan dulu dong, bunda kan udah siapin masakan kesukaan ayah. Masa dianggurin gitu. Nanti dulu ngobrol sama Jia nya ya," ucapnya seraya tersenyum manis.

Sedangkan Sandy menatap kakaknya dengan pandangan iba. Dengan sengaja ia menyenggol kaki Jia dengan kakinya. Jia mendongak, ia menatap Sandy seolah bertanya apa. Lalu Sandy tersenyum seraya menggumamkan kata, "Semangat, jangan nangis." Jia berusaha tersenyum walaupun terasa hambar.

.

.

.

"Orang tua lu nanti nyariin," ujar Millo.

Jia menolehkan wajahnya kepada cowok itu. Bibir Jia masih terkatup, ia hanya menatap Millo yang tengah fokus dengan jalanan beraspal.

"Gue antar lo pulang aja ya," tawar Millo.

Jia mengubah tatapan matanya kepada Millo. Jia menatap nyalang cowok itu, ia menjadi emosi setelah Millo berkata demikian. Ego nya masih menguasai dirinya saat ini. "Gue gak mau pulang malam ini, Lagipula mereka gak akan cariin gue. Gue udah bilang malam ini gue mau ngerjain tugas di rumah Shindy."

Millo menolehkan wajahnya sejenak pada Jia. "Damn, you're were lie to your parents Jiayu!"

"Yes, I did."

Millo menggeleng - gelengkan kepalanya. Mungkin cowok itu tak menyangka dengan apa yang baru saja dilakukan Jia.

"You know Jia. I felt you're such a stranger for me tonight. 3 years changes anything from yourself."

Jia tersenyum miring. Ia sudah tau jika Millo cepat atau lambat akan mengucapkan kata – kata seperti itu. Karena memang benar Jiayu Tiara Adhiyaksa yang sekarang berbeda dengan yang lalu – saat berada di sekolah dasar. Jia yang sekarang lebih kuat dari Jia yang dulu. She's not fucking good girl again.

"You already know. So, if you not comfortable with me. You can get away for me as soon as possible." Jia berkata demikian untuk memperingatkan Millo. Jia sendiri tak mau cowok itu merasa kecewa dengan kepribadian Jia yang sekarang.

"Gue gak akan pergi dari lo lagi," balas Millo. "I swear," sambungnya.

***

"Lo boleh tidur di kamar gue," ujar Millo kepada Jia.

Jia mengangguk, ia yang semula duduk seraya melihat tayangan televisi beranjak dari ruangan itu. Ia berjalan menuju ke tempat, di mana kamar Millo berada.

Setelah Jia memasuki kamar Millo. Jia segera meletakan tasnya di sofa panjang di depan ranjang Millo. "Lo nanti tidur di mana?" tanya Jia kepada Millo. Jia sendiri merasa bersalah telah merebut dengan paksa kamar cowok itu malam ini. Apalagi apartment yang di tempati Millo hanya terdiri dari satu kamar.

"Cowok mah di mana aja kali Ji tidurnya. Di lantai juga gak apa – apa."

Dahi Jia mengernyit. "Masa di lantai sih, dingin nanti."

"Bercanda Jiayu, gue nanti tidur di sofa aja."

Jia mengangguk mengerti. Ia lalu duduk di tepian ranjang. "Di luar apa di sini?"

Millo terkekeh. "Di depan tv, gue tidurnya."

Jia menganggukan kepalanya paham.

"Tidur ya lo, awas kalau gak tidur!" peringat Millo yang dibalas deheman oleh Jia.

Tak perlu diperingatkan oleh Millo. Jia memang sudah mengantuk, karena menangis ternyata menguras energinya cukup banyak.

Millo berlalu, ia melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Di ambang pintu Millo membalikan tubuhnya kembali. Cowok itu menghadap ke arah Jia. Millo tersenyum manis seraya mengucapkan, "Good night, nice dream."

Jia tersenyum tipis. "Good night too," jawabnya.

Setelah Millo benar – benar pergi meninggalkan Jia sendiri di kamar, Jia meletakan tangannya di dadanya. Jia tak tau kenapa kini detak jantungnya berdegup lebih cepat. Jia juga tak tau kenapa senyuman Millo tadi rasanya membuat beban masalah Jia sedikit terangkat. "Gue kenapa sih, duh Jia. Udah dong, lo gak mungkin suka sama cowok yang lo anggap nyebelin satu tahun belakangan ini kan?" tanya Jia kepada dirinya sendiri.

Niat hati ingin menenangkan dirinya. Jia kini malah terjebak di apartment Millo dengan perasaan yang aneh.

"Just forget it, okay. Jiayu ayo tidur," ucap Jia kepada dirinya.

Say Hi! Millo(ve)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang