"Dewa pamit, Pa."
Lelaki akhir 50-an itu tersenyum menyambut tangan putra sulungnya. Sebelah tangan kirinya menepuk lembut bahu gagah Dewa.
"Baik-baik sama Rere. Kalau Papa boleh kasih saran, mulai ungkap apa yang kamu rasakan, Wa." ucap Papa Dewa serupa bisikan. Tapi Dewa menangkap itu dengan jelas.
Menarik kedua sudut menjadi lengkungan senyum, Dewa mengangguk pasti. "Akan Dewa usahakan, Pa." Dibelakang Dewa, Rere mengikuti Dewa yang sudah selesai berpamitan dengan kedua orangtuanya.
"Besok Vanya main." seru Vanya sedikit tak rela kakak iparnya harus pulang. Rere tersenyum dan mengangguk sebelum berbalik dan masuk ke dalam Fortuner hitam milik Dewa.
Rere menoleh saat sebelah tanganya digenggam oleh Dewa yang masih menyetir.
"Kenapa?"
Rere menelengkan kepala mendapat pertanyaan dari Dewa. Bukankah seharusnya Ia yang bertanya disini karna Dewa tiba-tiba menggenggam tanganya?
"Ini cara biar kamu nggak buang muka ke jendela." ucap Dewa menjawab kernyitan di dahi Rere.
Tulang pipi Rere terangkat saat kedua sudut bibirnya melengkung kecil. Menggantikan kerutan di dahinya. Suaminya ini, ya ampun.
"Aku kan.. lumayan ganteng, Re." ucap Dewa lagi. Dan kalimatnya sukses menerbitkan tawa meski lirih dari Rere.
"Re..."
"Iya?"
Dewa menoleh setelah menginjak rem di lampu merah yang menunjukan angka ke-65. Tangannya mendarat di pipi kiri Rere. Menyusurkan jari telunjuknya lembut.
"Kamu itu Istriku dan selamanya akan seperti itu."
Semoga.
*****
Sebuah batu karang yang terus-menerus diterpa ombak hingga semakin lama terkikis. Kepercayaan diri Rere tak jauh berbeda dengan 'sang batu karang'. Berhadapan dengan berkotak-kotak tupperware yang berjumlah lima kotak berisi lauk-pauk dengan bahan dasar seafood berhasil mengikis kepercayaan diri Rere yang selama ini tak seberapa.
"Ini makanan kesukaan Dewa. Dia cerita udah lama nggak makan seafood."
Pesan dari Mama mertuanya kembali terngiang saat Rere selesai memasukan seluruh kotak ke dalam kulkas. Usai rasa dingin yang menerpa wajahnya menghilang seiring dengan pintu kulkas yang menutup, Rere menarik nafas dalam-dalam. Berharap oksigen yang Ia hirup dengan sedikit rakus bisa mengangkat sesak yang bersarang di dadanya.
Alih-alih menyusul Dewa yang beristirahat di kamar mereka. Rere memilih berbalik menuju ke kolam renang yang berhadapan dengan dapur yang terpisah oleh lapisan kaca bening selebar tembok. Sepasang kakinya Ia masukan kedalam air kolam sampai sebatas lututnya. Menyalurkan rasa dingin air ke kakinya.
Empat ratus dua puluh enam hari.
Usia pernikahan mereka. Kedua sudut bibir Rere tertarik membentuk sebuah senyum samar saat batinya melafalkan deretan angka berjumlah satu tahun dua bulan berlangsungnya pernikahan mereka.
Siapa sangka, pernikahan tanpa dasar yang di gelar bertahan sampai satu tahun. Bahkan Rere dulu sangat menyayangkan pesta pernikahan mereka yang di gelar cukup mewah disebuah hotel tempat Papa mertuanya bekerja hanya untuk sebuah pernikahan yang mungkin akan berakhir selama usia jagung, dan empat ratus dua puluh enam hari yang sudah mereka jalani menggoyahkan Rere secara perlahan.
Pertanyaan demi pertanyaan berdesakan muncul didalam otaknya, terproses dalam benaknya berganti menjadi rasa was-was dengan rasa 'terbiasa' yang akan hilang ketika pernikahan ini akan berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet You (TAMAT)
General FictionMarried By Accident. Alasan mengapa Rere dan Dewa menikah. Bukan, mereka bukanlah remaja yang 'apes' karna pergaulan bebas di kota metropolitan. Mereka menikah memang setelah 'Accident' yang sebenarnya. Rere yang notabene perempuan intovert yang m...