Meet You|37

4.6K 345 7
                                    

Beberapa butir pil tumpah saat Rere membuka tutup tabung bening yang baru Ia beli. Dengan tangan gemetar, Rere menelan pil itu. Dia memejamkan mata, berusaha mengusir rasa cemas yang menguasai dirinya.

Beberapa menit setelah menelan satu butir pil. Rere tak mendapat ketenangan yang Ia harapkan. Ia kembali menelan pil lebih dari satu. Menahan rasa pahit obat sebelum meneguk air putih yang tumpah berceceran di tanganya.

Bukan ketenangan yang Rere dapat. Perutnya terasa mual, kepalanya mulai terasa berat. Disisa kesadaranya, Ia melihat sosok laki-laki yang masih mengenakan seragam putih abu-abu berlari mendekatinya. Rere hanya mendengar namanya dipanggil berkali-kali sebelum kegelapan menelan kesadaranya.

Entah berapa lama Ia tak sadarkan diri. Rere bangun dalam keadaan disorientasi tempat. Kedua matanya mengerjap menatap ruangan putih. Dia mengaduh saat merasakan kepalanya yang terasa pening. Kedua mata Rere tanpa sengaja menatap sebuah selang yang ada di punggung tanganya. Infus.

"Akhirnya bangun juga. Baru juga mau Aku cium." sebuah suara yang Ia kenal masuk ke indra pendengaranya.

"Kak Evan?" tanya Rere.

"Hm." wajah Evan terlihat datar. Sorot matanya menyimpan rasa kecewa pada Rere yang sedang terbaring di atas bankar.

Rere membuang nafas panjang. Menutup kedua matanya dengan sebelah lengan yang terbebas dari selang infus. Dia sedang merutuki kebodohanya menelan pil penenang tanpa mengikuti aturan.

"Mulai besok Kamu bisa konsultasi ke Dokter Davina."

Menurunkan sebelah lenganya, Rere menatap wajah Evan yang masih datar. Bahkan laki-laki itu masih memakai seragam sekolah. Rere yakin hari sudah gelap melihat gorden kamar rawatnya yang tertutup.

"Siapa Dokter Davina?" tanya Rere.

"Dia psikiater di HMC."

"Kak, Aku nggak gila." protes Rere dengan suara serak.

Evan menangguk kecil. "Kakak tau Kamu nggak gila. Makanya Kakak suruh Kamu menemui dokter Davina." jawab Evan santai. "Kalau Kamu gila, Kakak akan mengantar Kamu ke rumah sakit jiwa."

"Kakak cuma mau Kamu mengontrol konsumsi obat penenang itu, Re. Nggak lebih. Jadi kalau Kamu nggak mau menceritakan apapun yang Kamu rasakan, fine." lanjut Evan. Rere masih diam mendengar kalimat Evan.

"Kakak nggak mau kehilangan adik yang paling Kakak sayang. Mau ya?" bujuk Evan. Rere Akhirnya mengangguk pasrah.

*****

Suara tangis Rere membisukan ruangan. Nafasnya tersenggal. Evan khawatir melihatnya. Mengingat Rere sering merasa sesak nafas sejak kecil.

"Dia tidak apa-apa." bisik dokter Davina mencoba menenangkan Evan.

Rere kembali bercerita tentang ketakutanya. Tentang pandangan temanya yang mulai menatapnya kasihan saat tahu orang tuanya bercerai. Membuatnya tak nyaman saat Ia harus tinggal bergantian di rumah Bunda dan apartemen Ayah.

Menceritakan bagaimana Ia ketakutan saat memutuskan untuk pindah sekolah dengan berbohong pada Bunda kalau Ia merasa lelah karena jarak sekolah yang terlalu jauh.

"Hai." sapa Evan saat Rere membuka kedua matanya. Dia sudah tersadar dari hipnotis yang dilakukan oleh dokter Davina.

Rere mengusap kedua pipinya yang bahas. Dia menghela nafas sedih. "Pasti Aku menangis keras." desahnya.

Evan terkekeh dan mengiyakan. "Kakak senang kamu mau bercerita. Meski dengan cara di hipnotis." goda Evan.

Meet You (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang