Pagutan Rere terasa beda. Dewa tahu ada hal yang sedang Rere sembunyikan. Istrinya tampak sedikit gelisah juga gemetar. Dewa yakin itu bukan karena gairah Rere. Meski sesekali Dewa merasa Rere terlalu kuat memeluknya. Dewa membiarkanya.
Dan saat pagutan mereka terlepas, Dewa mendengar sebuah isakan keluar dari bibir yang beberapa detik lalu berpagut denganya. Dewa membawa Rere dalam rengkuhan. Sebelah tanganya mengelus rambut dan punggung Rere yang bergetar.
"Wa."
"Hm."
Rere memeluk tubuh Dewa erat. Sangat. Menenggelamkan wajahnya pada lekukan leher Dewa. "Mama tadi bilang sama Aku, supaya Aku jaga kesehatan. Jangan sakit."
Dewa tersenyum mendengarnya. Rere hanya sedang bahagia. Dia lega tidak ada hal yang menyakiti Rere. Rasa bahagia itu juga Dewa rasakan karena Mamanya mulai memperlihatkan perhatian yang tulus pada Rere meski Ia tahu dari dulu Mamanya sudah menerima kehadiran Rere.
"So, Kamu harus banyak istirahat. Jaga kesehatan, dan jangan terlalu banyak memendam emosi sendiri." Dewa mendaratkan kecupan pada pelipis Rere, dalam. "Kamu bisa berbagi setiap emosi yang Kamu rasakan, sama Aku."
Jari telunjuk Rere membentuk pola abstrak pada dadanya. Rere sedang mempertimbangkan untuk menceritakan alasan Dia meminum obat penenang. "Kamu jangan marah ya?" ucap Rere.
"I'll try."
"Janji dulu jangan marah." Rere menegakan tubuh untuk menatap Dewa.
Laki-laki itu menghela nafas panjang. "Fine, I promise."
Rere menghadiahkan kecupan pada pipi Dewa sebelum membuka tas tangan yang Rere pakai sebelum keguguran. Ia belum memindahkan barang-barangnya selain dompet dan ponsel dari tas keluaran YSL.
"Aku akan berusaha untuk lepas dari obat ini." Rere menyerahkan sebuah tabung bening pada Dewa. Obat penenang yang beberapa waktu telah Ia konsumsi.
Tangan Dewa gemetar menerima obat penenang itu. Ia tak percaya bahwa Rere benar-benar mengonsumsi obat seperti ini. Sesakit itu kah Rere hidup bersamaku? Batin Dewa.
*****
"Aku... memiliki gangguan kepribadian-"Rere melirik Dewa sebentar. "-avaoidant."Lanjut Rere lirih. "Pemicunya karena Aku takut penolakan dari Ayah atau Bunda saat mereka akan bercerai. Aku takut di kritik atau paling parah akan ditolak oleh teman-temanku karena Aku anak broken home."
Dewa memeluk Rere. Ia tidak melihat ada airmata yang Rere keluarkan. Tapi dirinya merasa marah saat pikiranya memvisualisasikan Rere kecil yang harus menjauhi teman-temanya. Rere bahkan tak pernah keluar bersama teman dari segala tingkat pendidikan.
"Rasa takut karena penolakan itu semakin menjadi saat Ayah dan Bunda benar-benar bercerai. Aku mulai bertingkah berlebihan, pindah sekolah untuk menghindari teman-teman sebelum mereka menolakku dan Aku menjadi seseorang yang tertutup sejak pindah ke sekolah baru." Rere terus bercerita dalam pelukan Dewa. Ia merasa sedikit tenang karena Dewa memeluknya. Mengusap punggungnya lembut.
"Dan Kak Evan melihat disaat Aku.. menelan banyak pil tidur."
"Don't." bisik Dewa seakan mencegah sosok Rere kecil yang akan menelan pil tidur.
"Saat itu juga Kak Evan mengajakku untuk bertemu dengan seorang psikiater setelah Aku siuman."
"Berapa usia Evan saat itu?"
"Dia baru saja berumur 17 tahun. Tapi berkat Dia pemilik HMC, Kak Evan bisa menyembunyikan kenyataan bahwa Aku mencoba bunuh diri dan gila."
"Hei Kamu nggak gila, Re." Dewa mengusap lengan Rere lembut. "Apa sejak itu Kamu ketergantungan dengan obat penenang?" tanya Dewa setelah mendaratkan kecupan pada dahinya.
"Hm. Dan semakin parah karena Aku selalu menelanya ketika Aku merasa sedikit cemas." suara Rere memelan. "Kamu tahu apa yang membuatku bersyukur saat bertemu Kamu?"
"Apa?"
"Saat itu Aku sedikit berhasil mengurangi ketergantungan pada obat itu. Kak Bianca mulai menangani Aku. Saat itu Aku ada di semester akhir masa kuliah." Rere berhenti sejenak untuk menerbitkan tawa kecil. "Dia benar-benar ketat memantauku, dan Aku bersyukur karena Aku tidak segila dulu saat bertemu dengan Kamu."
"Jadi saat itu Aku berfikir untuk benar-benar sembuh karena Aku mendapatkan sosok sebaik Kamu, Aku merasa memiliki orang yang akan selalu menemaniku dan Aku nggak mau Kamu merasa kecewa karena memiliki istri gila."
"Kamu nggak gila, Re." tegas Dewa menatap wajah Rere. "Dan yang seharusnya malu disini adalah Aku."
Rere tersenyum lembut dan merangkum wajah Dewa. "Intinya pertemuan Kita menjadi sebuah anugrah untuk hidup Kita. Jangan kembali lagi mengungkit pembahasan kemarin."
*****
"Bukankah Kamu terlalu kejam, Wa?" Ginar memicingkan mata menatap Dewa yang dengan santai mengatakan hal yang sama dengan apa yang Rere katakan tempo hari.
Hari ini Dewa meminta izin pada Rere untuk bertemu Ginar dan mengurus tentang keperluan Diego juga kesepakatan tanggung jawab yang akan ditawarkan.
"Kalau mau mencari siapa yang kejam, seharusnya Kamu melihat dirimu dulu, Nar." ucap Dewa tanpa menatap Ginar. "Dulu Kamu punya kesempatan untuk memintaku untuk tanggung jawab dan menikahi Kamu."
Kali ini Dewa menatap wajah Ginar. Tepat di kedua manik Ginar yang memendam amarah. "Kamu memilih diam dan pergi dengan laki-laki lain, Nar. Kamu tahu, harga diriku merasa terinjak. Aku berusaha berubah untuk Kamu. Setia sama Kamu dan Kamu-" Dewa menarik napas. Menahan rasa kesal dan muak mengingat masa lalunya. "dengan mudahnya berselingkuh dan pergi tanpa memberi penjelasan apapun padaku."
"Aku kesal karena Kamu sibuk-"
"Bagaimana Aku nggak sibuk sementara Aku harus menyelesaikan kuliah secepat mungkin dan bekerja karena Kamu ingin Kita bisa nikah sebelum Kamu koas?" nafas Dewa menderu keras.
"Aku berusaha mengabulkan semua keinginan Kamu, Nar. Semuanya. Aku penuhi semua agar Kamu bahagia." Dewa membuang muka. Wajahnya terasa panas. "Kalau Kamu menuntut untuk dinikahi, maaf. Sampai kapan pun Aku tidak akan sudi menduakan Rere atau menceraikanya."
Ginar menatap wajah Dewa dengan kedua mata memerah. "Apa Aku tidak bisa menerima kesempatan kedua?"
"Tidak akan ada kesempatan kedua, Nar." Dewa menyandarkan punggungnya. "Dulu mungkin Aku akan memaafkan perselingkuhan yang Kamu lakukan dan menikahi Kamu karena Kamu mengandung anakku."
"But, what's in past stays in past." tandas Dewa.
Sebutir air mata menuruni pipi Ginar. Harapanya akan selamanya menjadi harapan. Ia tidak akan bisa kembali memiliki Dewa. Sampai kapan pun, tidak akan pernah. Meski dulu Dewa adalah seorang playboy, Dia tidak pernah menduakan pacarnya. Ia akan mengaku bahwa Ia sudah tak menyukai pacarnya dan memutuskan hubungan. Dia penganut teori monigami.
"Aku harap Kamu bisa menerima semua ini." Dewa menumpukan kedua tanganya. "Kita bisa menjadi teman dan tetap menjadi orang tua untuk Diego."
Ginar masih diam. Mengusap air mata yang mengalir di kedua pipinya. "Hanya itu yang bisa Aku berikan." tak menunggu jawaban Ginar, Dewa beranjak dari kursi dan meninggalkan Ginar yanh masih terdiam. Dewa tak menoleh sama sekali.
*****
Hai guys, unofficial this story is end. Di draft mksud aku. Jadiii, kalo vote bagus aku akan post dua hari sekali.
Have a nice day and happy reading guys. Don't forget vote and comment
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet You (TAMAT)
General FictionMarried By Accident. Alasan mengapa Rere dan Dewa menikah. Bukan, mereka bukanlah remaja yang 'apes' karna pergaulan bebas di kota metropolitan. Mereka menikah memang setelah 'Accident' yang sebenarnya. Rere yang notabene perempuan intovert yang m...