Bunda mengamati Rere dan Dewa yang baru saja keluar dari kamar Rere bergantian. Dimana Rere berjalan didepan Dewa yang berjalan menunduk mengamati sepatu hitam dengan tanda ceklis.
Mereka berdua yang biasa berjalan bersisian dengan senyum yang tak pernah absen menghiasi wajah sekarang berjalan depan-belakang dengan wajah kaku.
"Pagi, Bun. Nih hadiah dari Ayah." Rere mengembangkan senyum saat mengulurkan paper bag dengan logo salah satu brand mendunia.
Bunda mendengus dan membuka tas uluran Rere. Sebuah tas tangan berwarna coklat muda, yang dibuat oleh perancang kondang yang menjadikan seekor rusa sebagai inspirasinya.
"Bunda nggak akan nolak. Anggap aja ini ganti rugi karna Bunda belanjain kulkas Ayahmu." Rere terkekeh dan mengangguk.
"Pagi Dewa, sudah mendingan? Rere bilang kemarin kamu nggak enak badan dan bilang jangan ganggu kamu."
"Pagi Bun." Dewa melirik Rere sebentar. "Iya sudah mendingan kok, Bun."
Bunda mengangguk. "Ini makan sup ayamnya. Biar badan kamu segeran. Masuk kerja hari ini?"
"Iya, Bun." Jawab Dewa kaku.
"Kamu kalo masih lemes izin aja, biar Rere yang rawat kamu. Toko nggak terlalu rame kok." Bunda mengulurkan semangkuk sup ayam yang menguarkan asap tipis pada Dewa.
Mengucap terimakasih, Dewa tersenyum. "Sudah enakan kok, Bun."
*****
Kedua mata Rere mengedar menatap danau didepan sana. Sepi. Hanya hamparan air yang gelap dan pepohonan yang mengelilingi danau. Keheningan panjang yang Dewa dan Rere ciptakan sejak mobil hitam Dewa keluar dari parkiran toko Bunda tak kunjung ada titik temu untuk dipecahkan. Mereka seakan menikmati keheningan tersebut.
Merasa tak tahan dengan keheningan ini, Rere memilih keluar mobil sambil merapatkan cardigan coklat susunya dan melangkah mendekati tepi danau. Dia berjongkok dan mengulurkan jemarinya menyentuh permukaan air danau yang ternyata jernih.
Rere nenarik kedua sudut bibirnya, Ia semakin menenggelamkan jemari sampai batas pergelangan tanganya. Merasakan dingin menyelimuti tanganya.
"Ginar... " senyum Rere hilang saat suara Dewa menyapa telinganya. "..dulu kita dekat, em.. Kita pacaran."
Ada suara kemersik rumput yang diduduki Dewa tepat disampingnya. "Kita pacaran dari awal masuk kuliah sampai kita sama-sama lulus kita masih pacaran." Jelas Dewa sedikit tersendat.
"Lama ya." respon Rere setelah keheningan kembali memeluk mereka. Ia pikir Dewa butuh responya untuk melanjutkan ceritanya.
"Iya, lama." Dewa membuang nafas keras. Kalau Rere tak salah dengar, Dewa sedikit mendengus diakhir kalimatnya.
"Kenapa putus?" tanya Rere. Ia tak ingin lagi pura-pura merasa tak terganggu dengan kisah Dewa dan Ginar setelah kemarin Dia kesulitan tidur dan seharian kemarin Ia bersikap ilang-ilangan untuk menghindari Dewa.
"Ginar... Dia selingkuh, dan Mama nggak tau itu." Dewa menunduk. Ikut mencelupkan tanganya kedalam air danau. "Alasan mengapa Mama tetap menyukai Ginar."
Rere menatap wajah datar suaminya. Tak ada wajah terluka disana. Hanya gurat kemarahan bercampur kecewa yang memenuhi wajah Dewa.
"Re." Panggil Dewa lembut. Rere hanya menoleh sebentar dan kembali menatap jemarinya yang tenggelam dalam jernihnya air yang memantulkan warna hijau.
"Aku minta maaf." Suara Dewa kembali terdengar. Rere masih diam, menikmati dinginya air danau yang berkebalikan dengan cuaca panas.
"Kenapa Dewa minta maaf?" tanya Rere.
Bukanya menjawab atas ucapan permintaan maafnya, Dewa malah terdiam. Dia sendiri kehilangan suaranya saat Rere kembali merespon ceritanya.
"Buat semuanya."
Rere menampilkan senyum. Bukanya melegakan dada Dewa, senyum Rere semakin menekan dadanya. Senyum itu bukan senyum yang biasa Rere tampilkan. Senyum kali ini terlihat asing untuk Dewa.
"Kalau Dewa meminta maaf untuk masa lalu Dewa, Aku nggak ada hak untuk menghakimi semua kejadian di masa itu. Karna Aku hanya orang di masa yang belum Dewa ketahui akan ada di hidup Dewa." Rere mengucapkanya tanpa menatap Dewa. Ia masih menarikan jemari lentiknya dalam jernihnya air.
"Tapi, kalau yang Dewa maksud 'semuanya' termasuk sikap diam Dewa kemarin, Aku juga tetap nggak punya alasan memaksa Dewa cerita. Kita memang memiliki suatu hubungan yang lama, tapi kadang 'lama' bukan menjadi patokan untuk saling membuka setiap hal."
*****
D
ewa melihat tubuh Rere terbaring di atas sofabed depan televisi di ruang keluarga dengan televisi menyala. Mereka memang sepakat tak meletakan televisi di dalam kamar tidur. Nafas Rere tampak bergerak teratur. Tanganya terulur mengusap wajah damai Rere. Menerbitkan senyuman diwajah tampan Dewa yang tampak kacau.
Hari ini tepat dua hari setelah Ia menceritakan masa lalunya bersama Ginar. Dan dua hari ini Dewa merasa sesak dengan komunikasi mereka. Memang Rere tak mendiamkanya. Rere bahkan bersikap seperti biasanya. Wanita ini melayaninya seperti yang dilakukanya hampir dua tahun terakhir.
Tapi Dewa tahu, Rere masih menyimpan ganjalan di benaknya tanpa mau mengungkapkanya. Atau lebih tepatnya, keduanya sama-sama masih menyimpan 'kata' di benak masing-masing.
"Hai." Dewa mengerjap sebelum membalas senyum lesu Rere. Wanita itu terbangun.
"Kenapa tidur disini?" tanya Dewa. Tanganya masih mengusap pipi Rere yang terlihat sedikit berisi.
Rere bergeser, meletakan kepalanya dipangkuan Dewa. Ia kembali memejamkan mata coklatnya. "Ketiduran."
"Sudah makan?" tanya Dewa lagi. Percakapan mereka terdengar lebih membosankan dan kaku dari pada awal pernikahan mereka.
"Sudah, tadi Ayah ajak Aku sama Bunda makan malam. Bulan kemarin absen."
Hening. Lagi.
"Sudah makan?" tanya Rere balik setelah jeda beberapa menit.
Dewa tersenyum dan menggeleng pelan. Rere berdehem dan bangun. Ia duduk dan memakai sandal bulunya. "Dewa mandi dan ganti baju. Nanti Aku siapin makan malam."
Tak menunggu jawaban Dewa, Rere berjalan menuju dapur. Ia bahkan tak menatap wajah Dewa barang sebentar.
Setelah membersihkan diri, Dewa melihat sudah ada tumis daging cincang dan ca jamur pedas dengan setoples kerupuk udang di meja makan. Ia mengedarkan pandangan untuk mencari sosok Rere. Nihil.
Menarik sebuah kursi yang biasa Ia duduki, Dewa menumpukan kepalanya diatas kepalan tangannya. Sesekali Ia memijit pangkal hidungnya, berusaha menghalau rasa penatnya.
Ia tersentak saat mendengar dentingan didepanya. Dan disana Rere. Menyendokan nasi yang masih mengepulkan asap tipis keatas piring untuknya. "Cukup?" Rere menatapnya sebentar dan Dewa mengangguk.
Setelah menyendokan lauk, Rere mengulurkan piring itu kehadapan Dewa. Meski Ia tak ada nafsu makan, Dewa tetap menyendok makananya dan menyuapkan kedalam mulutnya.
Suasana asing kembali menyelimuti mereka. Bukan hal baru Rere makan duluan. Dia bahkan memiliki jadwal makan malam bertiga bersama Ayah dan Bunda setiap satu bulan sekali yang tidak boleh di ikuti siapa pun termasuk Dewa. Dia memiliki jadwal sendiri menjadi makan malam berempat. Tapi suasana ini-saling diam dan menghindari tatapan satu sama lain- menjadi hal baru untuk mereka.
"Re, ada yang ingin kamu tanyakan?" tanya Dewa setelah suapan ketiganya.
Rere menatap Dewa dalam diam seakan mempertimbangkan ucapanya sebelum tersenyum dan menggeleng. "Apa Dewa ada yang ingin diceritakan lagi?"
"Seperti?" pancing Dewa.
"Sejauh hubungan Dewa mungkin." jawab Rere asal.
Dewa meneguk air dalam gelas yang disediakan Rere. Tenggorokanya terasa tersumbat dengan suapan nasi yang Ia makan.
"Kita.. sudah bertunangan."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet You (TAMAT)
General FictionMarried By Accident. Alasan mengapa Rere dan Dewa menikah. Bukan, mereka bukanlah remaja yang 'apes' karna pergaulan bebas di kota metropolitan. Mereka menikah memang setelah 'Accident' yang sebenarnya. Rere yang notabene perempuan intovert yang m...