LEBARAN

8.4K 313 4
                                    

Juli 2015

Malam ini gema takbir dan suara ledakan petasan sudah mulai terdengar dari rumahku. Aku sedang membantu ibu menyiapkan opor dan ketupat untuk besok. Tanganku sedang mengangkat ketupat dari panci tetapi pikiranku tetap ke Rio sampai air rebusan ketupat terciprat ke tanganku.

"Aw," pekikku

"Kamu kenapa?."

"Ini kecipratan, bu," aku menunjukan tanganku yang merah karena air panas

"Duh kok bisa gini sih?," kata ibu sambil menyeretku untuk duduk di ruang makan

Saat ibu mulai memberikan salep, tidak terasa aku menangis.

"Kamu kenapa?."

"Engga apa-apa bu."

"Perih ya?."

Aku mengangguk. Andai ibu tahu, yang terasa perih bukan tanganku yang terkena cipratan air panas tapi hatiku.

"Ya udah kamu di sini aja ya, biar ibu yang selesaiin itu semua."

"Iya bu."

Aku duduk diam di ruang makan sendirian. Kulihat hand phone ku, ada puluhan broadcast ucapan untuk hari raya tetapi tidak ada satu pun pesan dari Rio. Kami tidak berkomunikasi sejak pertemuan waktu itu, aku tidak tahu mengapa Rio tidak menghubungiku. Aku juga tidak mau menghubungi duluan karena jujur saja aku gengsi.

"Kamu di mana Rio, aku kangen," ucapku dalam hati

"Kok engga bantu ibu?," kata ayah membuyarkan lamunanku

Aku segera menghapus sisa air mata yang masih ada di pipiku.

"Kenapa lagi?."

"Engga kenapa-kenapa yah, tadi tanganku kena air panas," kataku sambil menunjukan tanganku yang merah ke ayah

Ayah hanya mengusap tanganku dan pergi ke dapur menyusul ibu.

Saat aku menyusul mereka ke dapur, aku melihat ayah sedang memeluk ibu. Aku tersenyum melihat tingkah kedua orang tuaku. tetapi senyumanku terhenti saat aku menyadari bahwa ibu sedang menagis dan ayah sedang menenangkan ibu.

"Ayah juga engga kuat bu harus liat Vio nangis terus, tapi kita harus kuat bu biar bisa nguatin Vio," kata ayah pelan

Ayah menghapus air mata di pipi ibu.

"Kita harus kuat ya bu," kata ayah sambil memeluk ibu lagi

Ibu mengangguk di pelukan ayah.

Hatiku benar-benar hancur melihat semua ini. Aku lari menuju kamarku, di sana aku menangis.

Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis lagi di depan keluargaku dan harus kuat menghadapi semua ini. Aku tidak ingin melihat ibu dan ayah sedih lagi.

**********

Aku memandangi diriku di cermin sebelum berangkat untuk salat ied. Aku pandangi baju yang melekat di tubuhku. Baju yang di belikan Rio waktu itu.

Lebaran tahun ini cukup berat, karena aku harus memasang senyum palsu di depan keluarga besar orang tuaku. Pertanyaan di mana Rio, mengapa kami cerai, sampai tentang pengobatan tidak berhenti keluar dari mulut nenek, om dan tanteku secara bergantian. Untungnya aku memiliki keluarga yang sangat pengertian, ayah langsung pamit dengan alasan mau ada tamu datang ke rumah padahal tidak ada orang yang akan datang ke rumah kami. Sepanjang perjalanan menuju rumah, kak Julio dan ayah tidak berhenti membuat aku dan ibu tertawa. Mungkin ini cara mereka untuk membuat aku dan ibu tidak sedih, menurutku mereka berhasil.

STAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang