(24)

1.6K 98 0
                                    

Ngekkk
Gue membuka pintu kamar gue yang tertutup. Gue dan Refiani memasuki kamar tersebut.

Gue yang terfokus kepada kasur putih gue yang empuk dengan cepat langsung menidurinya dan Refiani yang terfokus kepada kursi hitam yang langsung dijadikan tempat untuk meletakan tas ransel besarnya.

"Lav" Panggilnya

Tak ada sahutan dari siapapun, termasuk gue. Jujur, kalo gue udah di kasur berasa ga denger apa-apa lagi.

Karena Refiani merasa ia dikacangin gue, akhirnya ia memanggil gue untuk kedua kalinya.

"Lav" Pangginya lagi, namun kini panggilannya terdengar memiliki intonasi yang lebih tinggi dari sebelumnya.

"Ya?" Sahut gue sembari menengok kearahnya.

"Lav jadi kagak gue cerita ke lo pasal almarhum ayah gue?" Tanyanya dengan ekspresi agak kesal karena tingkah gue.

"Iya Refiani, lanjutin aja ga apa-apa gue denger dengan yang lo omongin" Balas gue sembari duduk dan memeluk guling abu-abu kesayangan gue.

"Jadi, dulu aku pernah ngalamin kejadian kayak kamu gini Lav. Awalnya gue ga tau apa-apa pasal bingkai foto ayah gue jatoh waktu itu, karena aku dulu masih kecil. Nah, pas gue ngeberesin pecahan kaca yang berasal dari bingkai foto ayah gue itu, ga tau kenapa gue langsung menuju ke alam bawah sadar dan di dalam alam itu gue ngeliat ayah gue ketabrak truk pas lagi nyebrang jalan dan akhirnya tubuhnya ancur terus isi organ dalemnya berserakan dijalanan. Tapi, sebelumnya gue ga tau kejadian ayah gue itu letaknya dimana dan aku ga tau apapun soal itu. Karena aku masih kecil dan kembali ke alam sadar posisi aku tu dalem keadaan capur aduk antara kaget, sakit, dan bingung." Jelasnya sembari menundukan kepala.

Refiani menghembuskan nafasnya kuat dan terdengar bahwa ia seperti sesak nafas semenjak ia bercerita tentang almarhum ayahnya tersebut.

Kondisi ruangan masih sunyi dan gue juga menundukan kepala merenungi semua yang dikatakan oleh Refiani.

"Masih kuat Ref?" Tanya gue sembati menepuk bahunya secara perlahan.

Ia menganggukan kepalanya lalu meghembuskan nafasnya kuat dan menundukan kepalanya lagi.

"Saat gue selesai ngeberesin bingkai foto almarhum ayah gue, tiba-tiba gue dikasih tau info sama mbok kalo ayah udah meninggal" Jelasnya dan seketika ia menangis.

Spontan, gue langsung merangkulnya dan menggengam tangan kanan miliknya.

"Keluarin semuanya Ref, jangan ditahan. Lagian ga ada yang marah kok kalo kamu nangis disini kan cuman ada aku" Ucap gue.

Gue menunggu Refiani menangis hingga selesai. Sengaja gue mengijinkannya untuk menangis karena gue tau rasanya memendam amarah dan sedih sendirian tanpa ada orang lain yang memedulikan apalagi masalah kehilangan orang terdekat, terutama orang tua.

2 jam kemudian Refiani mulai terasa lega, tidak ada suara tangisan ataupun air mata yang keluar dari dirinya. Dengan memberanikan diri, gue memecah keheningan saat itu.

"Udah agak legaan ga Ref?" Tanya gue sembari mengelus lengannya.

Ia hanya mengangguk. Namun, gue ngerasa dia berada dalam tatapan kosong.

"Woyyy sadar Ref jangan ngelamun. Kehilangan boleh sedih, tapi inget kamu jangan dalem keadaan hampa lagian kamu tau kan resikonya kalo sedih dalem keadaan hampa?" Ucap gue sembari memegang wajahnya lalu menamparnya. Sebenernya gue ga ada niatan buat nyakitin dia, tapi bagaimana pun gue ga akan mau dia kerasukan cuman gara-gara tatapannya kosong dan hampa. Karena sebenernya gue ngeliat bahwa beberapa dari mereka berusaha mendekati Refiani.

"Iya Lav, maaf" Balasnya dengan intonasi yang menurun drastis dari biasanya.

"Ref, gue juga minta maaf sama lo. Jujur gue ga ada niatan apa pun kok buat nyakitin lo, tapi daripada lo kerasukan sama mereka mending gue sadarin lo dengan cara agak kasar" Jelas gue.

"Iya, makasih ya Lav udah nyadarin gue. Maap juga gue bebal banget sama lo Lav. Lagian gue ga mau kejadian buruk yang pernah gue alamin ini lo juga ngalamin kejadian yang sama" Balasnya sembari menggenggam tangan kiri gue.

Spontan, gue langsung terfokus ke genggaman tangan Refiani. Namun, secara cepat gue langsung kembali terfokus kearah tatapan wajahnya. Tubuhnya dingin, tapi ga menyakitkan.

"Udah, ga apa-apa kok kita kan temen Ref. Kalo masalah kejadian atau peristiwa sebenernya itu rencana Tuhan Ref, kita ga bisa ngindatin namanya kematian juga. Oiya satu hal lagi, lo jangan nganggep suatu kejadian itu buruk, namun sebenernya dibalik semua itu pasti ada hikmahnya" Balas gue.

Ruangan hening sejenak. Tidak ada pembicaraan diantara kita berdua.

"Oiya Lav, kamu mau ngenalin gue dan belajar piano bareng sama dia kan?" Tanyanya yang memecah keheningan

"Tuh kan, hampir aja gue lupa. Ya udah ayo ke ruang musik sekarang Ref" Ajak gue ysembari berdiri dari kasur.

"Ayo" Balasnya sembari merain tangan gue dan menggenggamnya ringan.

Akhirnya kita berdua berjalan menuju ke ruang musik.

Do You See What I See [?]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang