🍇36. Orangtua Aila

20.1K 1.8K 96
                                    

Kaival mengantarkan Aila pulang ke rumahnya. Mereka telah menghabiskan enam hari full di Bali, melakukan segala hal menyenangkan. Tak ada batasan, Aila mengizinkan Kaival melakukan apa saja pada dirinya, termasuk bercinta setiap saat. Gara-gara Kaival, Aila menjadi ketagihan, malah di saat tertentu justru Aila sendiri yang berinisiatif untuk melakukannya.

Begitu mobil memasuki pekarangan rumah besar Aila, mata Aila menemukan sebuah BMW hitam terparkir di depan pintu rumahnya. Jantungnya bergemuruh bagaikan dentuman petir di siang bolong.

"Kai, stop!" suruh Aila.

Refleks Kaival adalah menginjak Rem, membuat Aila nyaris membentur kaca depan mobil karena telah melepas seat belt, untungnya Kaival menahan tubuh Aila sehingga tak terjadi benturan.

"Kenapa?" tanya Kaival penasaran. Apalagi wajah Aila yang tiba-tiba berubah pucat, sama sekali tak terlihat baik-baik saja.

"Kamu pulang aja ya?" minta Aila. Dia menatap Kaival setengah memelas.

"kenapa?" ulang Kaival lagi. Menyadari ada yang aneh, Kaival menoleh ke depan, dimana tatapan Aila sedang tertuju. "Itu mobil siapa?" tanya Kaival.

"Orangtua aku."

"Seris?! Bagus dong! Aku kan bisa minta izin ke mereka buat nikahin kamu," Kaival begitu antusias, dia melepas seat belt dan ingin turun.

"Nggak sekarang, Kai. Kamu pulang dulu aja," cegah Aila.

"Loh, kenapa Ai?"

Aila tak menjawab. Dia mencium bibir Kaival secara singkat. "turutin aja," mintanya. Lalu dia keluar dari dalam mobil dan langsng berjalan masuk ke rumah tanpa melihat ke belakang lagi.

Kaival memandang dengan tatapan aneh. Sebenarnya dia tak ingin menuruti Aila, tapi karena ini ada hubungannya dengan orangtua cewek itu, maka Kaival tak bisa melawan dulu. Siapa tau, Aila memiliki alasan yang memang tepat sehingga dirimya belum boleh bertemu dulu dengan orangtua cewek itu.

Kaival pun segera memutar balik mobilnya, membawanya keluar dari pekarangan rumah besar itu dan melesat pergi.

๑•ิ.•ั๑ ๑•ิ.•ั

"Wah, lihat Pa, anak haram Papa ini baru aja pulang. Hebat sekali," seorang wanita berumur 40 tahunan, langsung mengomentari kedatangan Aila. Namanya Marisa, istri sah dari Papa kandung Aila.

"Mama, jangan bicara sekasar itu pada Aila," tegur sang suami, Aditya.

Aila berdiri bagaikan patung. Usahanya untuk menyalami wanita itu ditolak mentah-mentah. Malah, dia teelihat seperti jijik disentuh oleh Aila.

"Dia memang anak haram kan, Pa? Anak yang terlahir dari hasil perselingkuhan kamu dengan pelacur itu!!" suara Marisa menggelegar, tak perduli jika kata-katanya sangat menyakiti Aila.

"Ma, tolong lupakan masalah itu. Terima Aila sebagai anak kita," bujuk Aditya tak berdaya itu.

"Anak Papa, bukan anak saya!!" tolak Marisa.

Aila meneteskan air matanya. Baginya, dianggap sebagai orang asing oleh Wanita yang tak ingin dipanggil Mama itu adalah hal yang biasa. Bahkan, dia sudah terlalu sering dimaki-maki, dihina, direndahkan dan dipukul.

"Aila, apa kabar kamu, Nak?" Aditya menyerah membujuk istrinya. Dia lebih memilih mendekati Aila dan memeluknya.

Aila menangis terisak dalam pelukan hangat seorang Ayah, yang tak bisa  tinggal bersamanya atas keinginan istrinya itu. "Aila, kangen Pa..." lirih Aila.

Marisa nampak berdecih, jijik pada Aila dan suaminya. "Kalian Ayah dan anak memang tak ada nilainya. Kalau saja bukan karena orangtuaku yang memilihkan kamu untukku, maka sekarang kamu sudah aku ceraikan."

"Mama, jangan ngomong kayak gitu. Kasihan Papa..." ujar Aila dengan wajah memelas.

"Jangan panggil aku Mama, bodoh!!"

"Aila sudah, tidak apa-apa Nak. Jangan kamu lawan," Aditya memberikan kode agar Aila diam saja.

"Beritahu dia kalau kita akan menjual rumah ini dan tinggal selamanya di Amerika. Bilang padanya, besok dia sudah harus angkat kaki dari rumah ini dan tinggalkan semua kemewahan yang kamu pinjamkan padanya." Marissa melenggang pergi setelah mengatakan itu.

Aila menatap papanya yang menangis. "Papa, Aila akan baik-baik aja. Memang sudah seharusnya Aila pergi, sudah waktunya."

"Gara-gara Papa, kamu jadi menderita begini, Nak!" Aditya berlutut di hadapan Aila, menangis keras bagaikan anak kecil.

Aila ikut berlutut, memeluk papanya dengan isak tangis tanpa suara. Dia menggigit bibirnya untuk menahan rasa pedih dari sakitnya hati.

Aditya melepas pelukan, menghapus air mata Aila. Dia lalu merogoh saku kemejanya. Mengekuarkan selembar foto lama yang nampak sudah pudar. "Kamu simpan ini. Dia Mama kamu, dia masih hidup..."

Aila tersentak mendengarnya. Dia mengambil foto itu dan melihatnya dengan teliti. Nampak, seorang wanita muda yang sangat cantik sedang menggendong bayi kecil. Wanita itu tersenyum pada kamera.

"Dia sangat mirip sama kamu, Aila. Dia sangat cantik," puji Aditya.

Ya, sangat mirip.

"Ma-Mama dimana, Pa?" tanya Aila terbata-bata. Setelah belasan tahun, Papanya baru memberitahu siapa Mamanya. Selama ini Aila mengira, wanita yang telah melahirkannya itu sudah meninggal dunia.

"Di belakang foto itu terdapat alamat terakhir Mama kamu tinggal. Papa harap dia masih di sana. Bila kamu bertemu dengannya, sampaikan maaf Papa padanya Aila..." Aditya kembali menangis.

Aila menahan tangisnya. Dia berusaha menegakkan tubuh, menggigit bibirnya dengan keras. Ya, memang semua adalah kesalahan Papanya. Andai dulu Papanya tak berselingkuh dengan Mamanya, maka Aila mungkin tak akan pernah lahir sebagai anak haram ke dunia ini. Tak hanya sampai di situ, Aditya juga memisahkannya dengan Mamanya itu, membuat Aila kesepian dan sama sekali tak pernah tau bagaimana rasanya pelukan hangat seorang Ibu.

Aditya menoleh ke segala arah dengan wajah waspada. Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari dalam kemejanya. "Ini kamu ambil, pakai untuk membeli tempat tinggal dan semua keperluan kamu. Isinya cukup untuk memenuhi segala kebutuhan kamu. Papa diam-diam menyimpannya untuk kamu."

Aila memandang ATM itu dengan tatapan nanar. Dirinya memang tak memiliki banyak uang. Apalagi gaji di Folimer hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, cukup karena selama ini Aila tak perlu menyewa rumah dan memiliki kendaraan. Namun ketika dia pergi dari rumah ini nanti dan tanpa semua fasilitas mewahnya, Aila akan kesulitan.

"Aila nggak butuh ini, Pa." Aila mengembalikan ATM itu ke tangan Aditya.

"Aila..."

"Terima kasih karena Papa sudah memberitahu Aila dimana Mama. Itu sudah cukup, Aila nggak butuh yang lain lagi. Jaga diri Papa, semoga dengan kepergian Aila kali ini, Mama Marisa akan lebih menghargai Papa sebagai suaminya."

Aditya nampak begitu terpukul mendengarnya. Dia ingin meraih Aila ke dalam pelukannya, tapi ditolak oleh anaknya itu.

"Aila sayang sama Papa." dengan menguatkan hatinya, Aila melangkah meninggalkan Aditya. Berjalan menuju kamarnya, untuk membereskam semua barang-barangnya.

Dia akan pergi, memang sudah saatnya.

๑•ิ.•ั๑ ๑•ิ.•ั

Kai-LaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang