Awal

902 62 18
                                    

Ata berdecak kesal karena noda yang ada di dasinya susah untuk dihilangkan, dengan kesal ia pun memilih untuk keluar kamar mandi. Namun, langkahnya terhenti.

Hal itu dikarenakan, tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat Asa dan Mega sedang mengobrol ria, hal itu tak pelak membuat mood Ata semakin turun.

Kalau gue nekat lewat tuh dua orang bisa panas sih hati gue. Batin Ata.

Ata pun berbalik dan memasuki kamar mandi. Ia melihat ke cermin yang ada di wastafel, ternyata rambutnya berantakan, kantung matanya kian menebal.

Gila, gue kok jadi nyeremin ya kalau dilihat-lihat? Batin Ata.

Ia melirik jamnya, sudah dua menit Ata berdiri di dalam kamar mandi layaknya orang bodoh, hal itu hanya karena sosok Asa dan Mega.

Memang, seminggu ini Asa dan Mega terlihat dekat, kenyataan itu membuat Ata hanya bisa mengamati.

Jadi, gue gak berhak untuk berharap ke Asa lagi ya? Batin Ata.

Tiba-tiba ingatannya jatuh saat orang tuanya benar-benar mengekang Ata untuk belajar, membuat waktunya dan Asa kian sempit, ditambah Asa sibuk akan lombanya.

Kalau dikira-kira kayaknya sekarang Asa lebih deket sama Mega dibanding gue. Pergi-pulang aja jemput, mereka balikan apa gimana sih? Decak Ata.

Tak ingin pusing sendiri, akhirnya Ata memilih untuk keluar kamar mandi.

"Astaghfirullah." Tangan Ata memegang dadanya ketika melihat Asa yang tepat berada di depan pintu kamar mandi.

"Halo!" sapa Asa dengan senyum khasnya, Ata mendengus malas, ia memilih mengabaikan Asa.

"Loh Ta, kok gue ditinggal sih? Gue udah nunggu lo tahu!" Asa mengejar Ata berusaha menyamai langkahnya.

"Siapa suruh lo nunggu gue? Lagian aneh banget lo tiba-tiba ada di depan kamar mandi, bikin orang jantungan aja!" seru Ata sebal. Asa tersenyum cengengesan dibuatnya.

"Ya maaf lah, tadinya gue 'kan habis ngobrol sama Mega, eh gak sengaja lihat lo ke kamar mandi, ya udah gue tungguin aja." Penjelasan Asa hanya mampu membuat Ata mengangguk-anggukkan kepala tanpa berniat membalas ucapannya.

Diantara keduanya hening yang terjadi, padahal kalau dulu ketika mereka berdampingan, pasti hening tak akan terjadi.

"Ta."

"Ta."

"Ta."

Ata bergeming tak berniat melirik Asa sekalipun, entah kenapa ia merasa malas dengan cowok di sebelahnya ini.

"Ta, lo kenapa sih?"

Ata menaikkan sebelah alisnya, melirik sekilas pada Asa. "Sariawan? Kok akhir-akhir ini banyak diemnya kalau lagi sama gue. Terus juga, chat gue jarang dibales? Sibuk banget?"

Ye, si tower. Gak salah? Gimana gak diem, lo ngajak omong juga jarang. Chat gak dibales? Gimana mau balas, sekali balas lo udah sibuk duluan. Batin Ata.

"Ta, jawab kenapa dah? Walaupun lo sariawan mah dijawab dong," pinta Asa. Ata hanya menatap lurus, seakan-akan tak ada Asa di sampingnya. Hal itu membuat Asa jengah sendiri.

"Ta." Asa mulai mencengkram pergelangan tangan Ata, membuatnya berbalik dan berhadapan dengan Asa.

"Apa?" nada Ata terdengar sarkas membuat Asa terdiam, ia hanya menatap Ata, seakan meneliti tentang perubahan dalam diri Ata.

Gue nyeremin apa, sampai Asa kedip-kedip aja. Batin Ata.

"Maaf."

Hembusan angin berlalu ketika Asa mengucap kata maaf untuk Ata.

Matahari di atas AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang