Perkataan Michael siang tadi masih terngiang di otakku. Butuh waktu cukup lama untuk menyadari betapa bodohnya diriku.
She didn't go. I throw her away.
Ketika melewati halte bus depan sekolah, aku melihat Nat duduk di bangku halte seorang diri, ia menunduk sambil menggenggam ponselnya, tatapannya kosong. Gadis itu terihat seperti memiliki banyak hal yang mengganggu pikirannya.
Aku memarkirkan mobilku di samping trotoar dan menghembuskan napas panjang, berusaha mengumpulkan seluruh keberanian dan kepercayaan diriku untuk mengajaknya bicara.
"She's there. Now it's time to act like a gentleman, right?" gumamku.
Aku membuka pintu dan keluar dari mobilku. Saat aku menghampirinya, Nat menoleh ke arahku, ia tampak terkejut, lalu kembali menunduk dan memainkan kuku-kuku jari tangannya.
Gadis itu terkejut ketika aku tiba-tiba memeluknya.
"Jangan pergi dariku lagi," lirihku.
"What are you doing?!" Nat berusaha melepas pelukanku.
"Aku tidak akan meninggalkanmu lagi." Aku berbisik dan memeluknya semakin erat.
Nat melunak, ia berhenti memberontak dan berbisik, "I don't understand."
"Let's talk. I will ride you home," ujarku.
"Tidak usah." Nat menjawab seadanya.
Aku menggelengkan kepala. "Seriously, we need to talk."
Nat menggigit bibirnya dan terdiam selama beberapa saat, kemudian mengangguk. Gadis itu berdiri dari bangku halte dan berjalan mengikutiku menuju ke dalam mobilku.
Selama berkendara, kami tidak saling berbicara satu sama lain. Aku menggigit bibirku, berusaha berpikir bagaimana caranya meluruskan seluruh kesalahpahaman ini.
Aku melirik ke sebelah kananku, ke arah coffee shop yang letaknya tidak jauh dari rumah Nat, kemudian memarkirkan mobilku di depannya.
"Kita bicara di dalam," ujarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Serenade [END]
Teen FictionTahun ajaran baru, seorang pemain saxophone bergabung dalam klub band sekolah dan berhasil menyita perhatian semua orang. Selain sifatnya yang supel dan kemampuannya dalam bermusik, gadis itu berhasil menyatukan murid-murid yang berbeda kepribadian...