Lembar 24

389 22 0
                                    

🌻

Disini Ghea sekarang. Di rumah sakit dengan perasaan campur aduk dalam hatinya. Dia sudah mengirimkan pesan pada sang Mamah, bahwa dia berada di rumah sakit menemani Aron yang masih belum sadar juga.

Sepi, sungguh sepi. Lorong panjang ini bagai penghantar kesedihan yang semakin dalam. Bagaimana bisa Ghea tidak tahu tentang penyakit yang diderita sahabatnya. Bagaimana bisa, saat dia menceritakan keadannya pada Aron. Ghea justru tidak pernah bertanya tentang cowok itu.

"Maafin Ghea Ron."

Bulit-bulir bening berjatuhan begitu saja dari mata indah milik gadis yang sedang duduk di kursi depan ruangan rawat Aron. Teringat saat dia berada di kedai eskrim bersama Aron, saat itu..

"Ghe?" Aron memanggil Ghea yang asik melihat ke arah luar jendela

Ghea menatap Aron sambil mengangkat kedua alisnya "Apa?"

"Kenapa waktu itu ga bales Line gue, telpon gue, whatsapp gue juga engga."

Ghea bingung harus menjawab apa, saat itu dia berada di posisi sulit. Bukan bermaksud mencemburui Aron dengan gadis petakilan itu. Hanya saja masalah silih berganti saat itu.

"Gue khawatir, seolah ada yang hilang saat lo pergi." Lanjutnya dengan tatapan sendu

"Ghe, kalau lo ada masalah lo cerita sama gue. Gue sahabat lo, gue sayang sama lo."

Ghea menarik nafas dalam dan membuangnya. Dia meronggoh saku rok birunya. Membuka memo handphonenya.

Aron terus menatapnya lekat, tanpa seinchi pun ia lewati setiap wajah Ghea.

"Ini mas-mba. Silahkan." Kata pelayan tadi menyimpan 2 mangkuk eskrim yang tadi dipesan.

Aron tersenyum menanggapinya, begitu pun dengan Ghea yang menghentikan ketikannya hanya untuk menghargai pelayan ini.

Aron memakan eskrim vanila itu kedalam mulutnya. Lalu Ghea menyerahkan handphone hitam itu ke arah Aron. Cowok berpakian SMA itu langsung mengambil dan membacanya.

Ghea malah menunduk dan mengalihkannya dengan memakan eskrim, walau Ghea tau cowok itu berulang kali melihat layar ponsel dan melihat ke arah Ghea yang berada didepannya seolah tak percaya.

"Maafin gue Ghe." Sata kata terucap dari bibir Aron

Ghea menatapnya lalu tersenyum tulus

Mengapa? Mengapa dia tidak pernah bertanya pada cowok yang terbaring lemas dengan berbagai selang dibadannya sekarang. Apakah tak ada firasat atas mata yang selalu teduh dan tulus itu menampakan betapa pedih hidupnya.

"Kenapa lo ga pernah cerita ke gue Ron.."

Sungguh, sore ini. Adalah sore menyesakan hati. Membuat fana padahal luka itu nyata.

"Ghea?!" Suara cowok yang tak Ghea kenal itu memanggilnya sambil berlari ke arah dirinya bersama dua cowok lainnya.

"Ghe, Aron gimana keadannya?" Cowok berkulit kecoklatan itu angkat bicara

"Gue ke Om Yun dulu. Lo jagain Ghea Hans. Ayok Dill." Kedua cowok lainnya kini melangkahkan kakinya lebar-lebar entah kemana.

Tinggalah Ghea dengan cowok bernama Hans itu. Hans bersandar pada tembok deket pintu ruang rawat sahabatnya. Dia tau, bahkan semua sahabatnya tau keadaan Aron.

Aron yang mengidap kanker leukimia yang sudah masuk ke stadium-2 Masih ada harapan. Namun sayangnya. Aron seolah pasrah dan tak lagi mau berjuang melawan penyakitnya. Sakit, sungguh sakit. Sahabat yang selalu menenangkan, menjadi penengah saat teman-temannya adu mulut. Atau saat teman-temannya membutuhkannya. Dia selalu ada, tapi kini. Cowok itu terbaring tak berdaya. Bahkan, banyak selang yang ada tubuhnya.

Kini, Ghea duduk sambil menyandarkan bahunya ke tembok. Lelah, letih, pedih semua terasa satu.

"Ghe, lo beruntung.." Cowok yang sedang bersandar itu bicara sambil menatap kosong kedepan "..Aron bukan tipikal orang yang mau deket sama cewek. Karena dalam pikirannya, cewek itu berisik dan Aron menyukai keheningan."

Ghea menatap cowok itu, tatapan antara keduanya nertemu. Hans mmbuang nafasnya kasar lalu beralih duduk disebalah Ghea sambil menyilangkan tangannya di depan dada.

"Dulu, diantara gue, Fadill dan Rey. Kita bukan temen, apalagi sahabat kaya sekarang. Aron yang buat kita jadi satu. Aron bersikap dewasa saat gue, bahkan yang baru kenal dia. Dia mau bantuin gue, begitu juga dengan Fadill dan Rey.." Ghea hanya mendengarkan dan menatap cowok disebelahnya ini.

"Nyokap-Bokapnya Aron, udah ninggalin dia bahkan saat Aron baru usia 8 bulan. Dan saat itu, Aron hidup bersama pembantu, para tukang kebun dan satpam di rumah mewah itu. Sampai akhirnya, Nyokap-Bokapnya balik ke Indo. Dan lo tau?" Pertanyaan Hans langsung dijawab gelengan oleh Ghea.

"Mereka malah bilang ke Aron untuk menjadi murid yang pintar dan harus bisa meneruskan bisnis keluarganya. Saat itu, umur Aron baru 7 tahun. Setelah bertahun-tahun dia gak liat orang tuanya, dan pahitnya saat dia liat kedua orang tuanya pertama kalinya. Mereka datang cuman bilang kaya gitu.."

Entah, harus di buat apa kesedihan dan penyesalan dalam hatinya. Ghea merasa malu, dia punya masalah. Tapi masalah dia tak seberat Aron. Namun dia, bisa sekuat itu padahal tanpa kasih sayang dari orang tuanya. Dia tumbuh dengan baik, walau tanpa adanya campur tangan kedua orangtuanya. "Maafin Ghea ya Allah."

"Ghe, gue tau Aron milih lo karena lo berbeda dimata dia. Karena lo spesial di dalam hatinya. Gue pengen, tolong lo bantu Aron untuk sembuh Ghe." Hans menatap manik mata Ghea dengan tatapan tulus. Tak ada kebohongan disana, tak ada apapun selain tulusnya kasih sayang seorang sahabat.

Ghea mengguk sambil tersenyum. Bukan senyuman lepas, namun senyuman yang terlihat terpaksa karena hatinya tidak sedang bahagia.

Dua orang cowok yang tadi pergi itu sudah kembali. Ada banyak arti dari mimik muka keduanya. Entah sedih, entah apa. Intinya bukan muka bahagia.

"Apa katanya?" Tanya Hans pada dua sahabatnya

"Nanti kita jelasin." Rey menjawab, dia tidak mau membuat Ghea khawatir. Walau mereka bertiga belum sempat bertemu dengan gadis yang disukai sahabatnya. Mereka tetap tidak mau membuat Ghea semakin sedih dan terpuruk akan keadaan Aron sekarang.

"Ghe, sorry gue lupa perkanalan. Gue Fadil, ini Rey, dan sebelah lo itu Hans." Ghea mengangguk paham

Allah'hu akbar Allah..

Suara adzan maghrib menghentikan obrolan antara mereka. Hans yang non-muslim pun ikut menundukan kepala sekedar menghargai agama yang dianut oleh sahabat-sahabatnya.

"Shalat yuk." Ajak Fadill yang langsung diberi anggukan oleh Ghea dan Rey berbarengan.

"Yaudah sonoh, biar gue yang jagaian Aron."

"Oke. Hati-hati Hans." Rey menjawab sambil menepuk pundak sahabatnya lalu berjalan pergi.

Rey, Ghea dan Fadill kini berjalan menuju mushola di rumah sakit ini. Melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim dan mendekatkan diri pada Allah agar selalu diberi ketenangan, kesabaran, dan nikmat syukur atas segala kejadian. Terutama untuk mendoakan sahabat mereka yaitu Aron.

🌻

ENSEMBLE (Bersama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang