Lembar 30

374 23 1
                                    

🌻

Saat semua orang berhamburan menuju kantin karena sudah tak sabar menikmati hidangan yang sangat dinantikan.

Ghea, gadis itu malah melamun menatap keluar jendela. Riuh-piuh suasana koridor depan kelasnya sangat jelas. Terdengar beberapa obrolan, gelak tawa yang nyaring, dan suara hentakan kaki orang yang berlalu lalang.

Ghea menundukan kepalanya, melihat buku polio besar pelajaran Matematika itu. Dia buka bagian tengahnya. Berniat ingin menuliskan sesuatu akan keadaan hatinya.

Bogor, 2019

Selamat pagi,
Ku sapa dirimu lewat kertas ini.
Cepatlah kembali, aku tak ingin sendiri.
Bila keramaian begitu nyata,
Mengapa aku merasa sepi dan sendiri.
Hari-hari ku tak lagi istimewa.
Gelak tawa tak ada yang sempurna.

Aron, ingin ku ceritakan bagaimana Nenek ku sekarang.
Semakin hancur sudah perasaan.
Kedua sahabat ku, bahkan rasanya aku tak bisa menceritakan tentang ini.
Terasa sulit, tidak semudah menceritakan kepada mu.

Kini, tangan ku kembali terluka.
Sangat lucu, saat ada kamu aku seolah lupa akan luka.
Namun, kini.
Rasanya ingin aku imbaskan seperti dulu.

Setiap malam, setiap detik seolah mengancam
Tertusuk segala jiwa dan raga ku.
Dalam benak ku selalu bertanya,
"Apakah kau baik-baik saja?"
Namun itu hanyalah angan sekarang.

Kini, hidup ku hanyalah garis lurus
Tanpa adanya ke indahan,
Self injuring selalu ku lakukan saat luka melanda
Bukankah lebih baik begitu?

Semoga.

Ghea Qirana


Mata gadis itu sudah berkaca-kaca saat menulis kata demi kata dalam kertas itu.

"Sebegitu berpengaruhnya kamu Ron."

Ghea menutup buku polio besar itu, dan tak sengaja mendengar perbincangan dua orang cewek teman sekelasnya yang duduk di belakangnya.

"Si Dodo emang gitu, gue juga jengkel sama dia. Kerjaannya pasti ngilangin barang orang." Suara cewek itu terdengar sangat benci

"Ta, bukannya Bokapnya itu koruptor ya? Pantes aja dia gitu."

"Ish, amit-amit ya. Cakep si tapi ternyata anak koruptor dan tukang nyolong. Pantesan aja ya." Desis keduanya membicarakan Doni yang sedang duduk di bangku depan paling pojok sambil mendengarkan earphone.

Ghea hanya menggeleng, menanggapinya. Dia tidak mau ikut campur, hidupnya sudah kusut. Tidak baik kalau dibuat semakin kusut.

Akhirnya Ghea mengambil earphone di dalam tas nya, niatnya kali ini adalah mendengarkan musik. Menunggu kedua sahabatnya yang akan lama itu, lebih baik Ghea isi dengan mendengarkan musik.

***

"Bram gercep dong! Salip aja tikung kanan kiri. Nanti kaga kebagian seblak kita kalau kaga begitu." Sofia sudah mulai jengkel menunggu sahabatnya yang sedang mengantri bersama murid lainnya di kedai seblak.

"Sabar elah." Kata Bram yang masih berusha menyalip antrian di tukang Seblak dan Japlak ini.

"Aduh, bisa demo berat ini, perut gue." Sofia mengelus-ngelus perutnya, dia sekarang sedang duduk di kursi panjang kantin sekolahnya sambil sesekali menatap sahabatnya yang belum juga selesai mengantri.

Kalau Ghea mah dia lagi puasa kayanya. Diajak ke kantin pasti selalu gak mau.

"Boleh duduk disini?" Sofia menatap cowok-cowok yang jelas-jelas adalah kaka kelasnya

"Ah iya, silahkan ka." Sofia kikuk bukan main, karena diantara cowok itu. Ada cowok yang selama beberapa hari ini ia hindari. Ya siapa lagi kalau bukan Davi alias Rey.

"Pesen apa? Biar gue aja yang pesenin." Kata Davi alias Rey pada dua sahabatnya.

"Udah biar gue aja, biasanya juga kan sama gue. Pesen kaya biasa kan?"

"Eh, Dil. Gue mau ikut juga deh. Lo mah suka kelebihan sambelnya."

"Gapapa Dil, biar ama gue aja." Rey, mengajukan diri lagi. Namun bukan bermaksud ingin mendekatkan Rey dengan Sofia. Toh kedua sahabatnya saja tidak tahu soal kejadian di parkiran di rumah sakit.

"Udah sans aja, yok Hans!"

Kedua cowok itu ikut mengantri ke salah satu kedai yang terjejer di kantin.

Diantara keramaian, kedua insan ini dibuat kikuk. Karena jarak antara Sofia dan Rey, hanya terhalang dengan meja. Mereka berhadap-hadapan.

"Kenapa si situasinya harus gini" Batin Sofia menggerutu

"Apa gue minta maaf sekarang aja?"

Keduanya asik dengan kebimbangan masing-masing.

"Gue.." Kedua orang ini berbicara berbarengan. Sangat kompak.

"Lo dulu aja." Kata Sofia mempersilahkan

"Fia, gue minta maaf soal waktu itu," Rey bicara sambil menunduk, menyembunyikan mukanya "Gue harap, hubungan kita bisa terjalin dengan baik."

"Gue, gue juga minta maaf Ka. Harusnya gue gak bentak lo, padahal lo lagi ada di posisi yang sulit."

"Gapapa, gue yang harusnya minta maaf. Ga seharusnya gue bersikap kasar sama lo."

"Gapapa Ka, gue udah maafin lo."

"Ekhem!" Tanpa mereka sadari, ada tiga cowok yang sedang memegang nampan makanan nya masing-masing. Yang menatap kejadian tadi.

"Ada yang bucin ni-yehh." Ledek Hans sambil duduk di sebelah Rey

"Apasih lo." Rey mengalihkan dengan mengambil mangkuk makannya

"Alah basi lo berdua, taken aja taken lah." Fadill memprokator keduanya.

Blush..

Pipi Sofia merah jambu, dia tak mampu menyembunyikan kebahagiannya.

"Biasa aja dong Sof pipinya." Bram yang berada di pinggir gadis itu, langsung meledek sahabatnya.

"Apaan sih lo."

"Tuh-tuh ngomong nya aja bisa sama." Kata Hans sambil menunjuk-nunjuk keduanya

Fadil dan Bram tertawa, karena kedua orang ini masih terlihat malu-malu tapi mau gitu. Lucunya mereka.

Suasana kantin seolah lebih indah bagi Sofia dan Rey. Namun tidak dengan Ghea yang malah menahan rindu akan seseorang yang entah bagaimana kabarnya.

🌻

ENSEMBLE (Bersama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang