16 [REVISI]

526 26 0
                                    

oOo

Dihari yang gelap karena langit menangis di sore hari. Dan petir-petir menyambar membuat kilatan kesana-kemari. Seolah sedang murka dan tersedu perih. Sang semesta melihat kesayangannya sedang rapuh dan terluka.

Dibawah guyuran air hujan, dan kencangnya suara dengu-ngan petir yang menyambar. Membuat suasana seolah memihak kesedihan gadis kecil berusia 7 tahun. Gadis yang tanpa alas kaki berjalan menembus dinding air yang jatuh ke bumi.

Dikakinya mengalir darah karena terkena pecahan kaca, yang sama sekali tidak sesakit hatinya.

Dia berjalan tertatih-tatih, tatapan kosong dengan hujan air mata yang melebur di pipinya. Karena hujan sang-semesta. Tanpa boneka kesayangannya, tanpa tawa yang tak pernah ia dengar dari mulutnya. Ia berjalan sendiri, hanya dengan luka yang selalu ia bawa pergi.

Gadis itu, menelan bulat-bulat perih selama hidupnya. Kejadian tadi di rumah putih dengan berbagai macam lukisan dan figura yang berisikan foto-foto dirinya dan keluarganya yang bahagia. Seperkian detik kemudian keindahan itu hilang saat kehancuran datang.

Figura-figura foto masa kecilnya hancur begitu saja berserakan di lantai. Jeritan dari isak tangis yang ia keluarkan tanpa suara, yang berujung membelenggunya. Luka dihati nyatanya semakin dalam. Gadis 7 tahun yang polos, gadis 7 tahun yang seharusnya hanya bermain dan belajar. Menikmati masa kecil nya. Namun berbeda dengan dirinya.

Menangis dan selalu menangis. Bercerita pada yang Maha Kuasa. Meminta dan berharap yang terbaik bagi masa yang ia lalui, seperti teman-teman disekolahnya. Yang selalu bercerita tentang keluaraganya, tentang Neneknya, tentang segala hal manis yang selalu dilakukan.

Gadis kecil itu berjalan lunglai. Suhu ditubuhnya yang panas karena demam yang menyerang tubuhnya. Membuatnya bukan disayang dan di manja-manja. Namun harus mendengarkan luka amat berat tak tertahankan.

***

"Biarkan dia mati Satya!"

"Dia anak Satya Bu!"

Prak...prakk..prakk..

Suara pecahan demi pecahan kaca figura terdengar. Gadis yang sedang di kompres dengan selimut yang menghangatkan diri terbangun dan keluar dari kamarnya. Melihat dan mendengar kejadian yang tak seharusnya ia lihat.

"Untuk apa kamu mempertahankan anak sial itu?! Karena dia Ayah mu mati Satya!"

"Bu hentikan heu..heu..heu.." Perempuan dengan baju daster hijau yang baru saja mengompreskan kain basah ke jidat dirinya tadi. Terduduk lemas dilantai sambil menangis

"Itu kecelakaan, dan Ghea bukanlah penyebabnya. Waktunya yang sama, dan itulah takdirnya Bu. Tolong ibu paham itu." Laki-laki dengan kaos hitam polos yang selalu mencium kening dan pipinya, menjadi kuda yang selalu membuat ia tertawa. Kini terlihat ada amarah dimatanya.

"Tidak Satya, anak itu pembunuh!"

Gadis kecil yang sedari tadi berdiri di ujung tangga merasa sesak dihatinya. Dia ingin pergi lalu mati. Neneknya membencinya. Dia tidak mau hidup jika menjadi beban di keluarganya.

Ghea menuruni tangga menginjak pecahan belink dari figura photo yang tadi dipecahkan perempuan paruh baya itu.

"Ghea?! Ghea?!" Teriak Satya. Papah Ghea. Orang yang selalu menjadi kuda poni dihidupnya, menjadi alasan tertawa dan bahagia.

"Ghea?! Ghe.."

Brukk..

Vita pingsan, saat berusaha bangkit dan mengejar gadis kecilnya. Malaikat yang dititipkan Tuhan untuk dijaganya. Kini pergi. Hatinya sesak sebagai seorang Ibu yang mengandung dan melahirkan dengan pertaruhan hidup dan mati. Kini gadis manisnya terluka. Dia merasa lemah dan tak berdaya.

"VITA?!" Satya langsung membopong tubuh rapuh istrinya yang sudah tergeletak dilantai

"Semuanya gara-gara anak itu!"

"Stop Bu!" bentak Satya kencang.

Kejadian itu, seolah menghantui kehidupan Ghea. Menjadi luka terburuk walau orang tuanya menyayanginya. Dia hanya ingin merasakan kasih sayang dari Neneknya seperti Safa adiknya.

Gadis kecil usia 7 tahun itu, terus berjalan tanpa arah. Baju tidur dengan kartun Dora itu sudah basah kuyup. Bahkan tak lagi menjadi penghalang dari setiap rintik jatuhnya air mata yang langit jatuhkan.

***

Gadis kecil itu menangis dan terus menangis. Pikirannya masih sangat polos, namun masalahnya sudah sangat berat.

Demam yang ia rasakan seolah berubah menjadi tusukan es yang menancap keseluruh badannya. Yang kemudian terasa sakit dan menggigil dingin. Kakinya yang terasa semakin perih. Kepalanya yang semakin pusing dan pandangannya yang mulai kabur serta jalannya yang lunglai. Lemas dan sakit, sakit di seluruh jiwa dan raganya. Begitu sakit.

Ya Allah tolong Ghea.. Maafin Ghea..

Brukk...

Ghea terjatuh begitu saja dan tak sadarkan diri. Diatas aspal dingin dengan hujan yang menjadi selimut diatas lukanya. Dengan luka yang selalu siap ia pejamkan dan telan bulat-bulat. Dengan air yang menjadi saksi mata dan semesta yang bahkan menjadi saksi bisu kisah pilunya di tengah jalan ini.

Dengan darah yang terus mengalir dari telapak kaki kanannya, yang terbawa air. Dan dengan kaca, yang mungkin menusuk semakin dalam pada kakinya. Semua seolah lengkap.

Penderitaan seolah komplit. Seluruh jiwa bahkan raganya pun merasakan sakitnya. Sakit yang bukan hanya sekedar sakit. Jika beginilah tulisan takdirnya. Gadis itu selalu kuat, bertahan walau badai terkadang terlalu kuat.

🌻

Bersambung...

ENSEMBLE (Bersama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang