6.Maaf Dari Alina

2.3K 186 6
                                    

Bagi beberapa orang, hujan adalah lorong waktu yang tidak bisa dipahami semua orang.

-Di Balik Senyum-

🌻🌻🌻

SAJIDAH'S POV

Aroma tanah yang basah mulai tercium, tumbuhan hijau bergoyang mengikuti arah angin yang bertiup, suara rintik hujan saling bertautan satu dengan lain. Ujung khimarku tersibak ketika angin mengarah ke jendela kamar, lengkungan senyum terbentuk sempurna saat mataku melihat hujan turun semakin deras.

Hujan selalu berhasil mengantarkan ku ke lorong waktu, di setiap tetesnya ada detik waktu yang pernah aku lewati. Aku menikmati dan memandangi hujan dengan kerinduan yang sudah terlalu lama bersemayam di hati, ingin segera ku obati tetapi Tuhan belum mengizinkan. Tidak apa, karena Tuhan pun masih memberiku penawarnya.

Cukup lama aku berdiri di sisi kanan jendela kamar sampai telingaku mendengar seseorang memanggil namamu dengan suara yang bergetar.

Sontak saja pandanganku teralih ke sumber suara. Di ambang pintu kamar ku lihat Alina yang berdiri dengan mukena peach yang dia pakai, tidak hanya itu wajah dan matanya terlihat begitu sembab. Aku tersenyum hangat dan mempersilahkan sepupuku untuk masuk.

"Kenapa Al?" tanyaku pada Alina ketika melihat dia memandangi hujan seperti yang ku lakukan tadi.

"Kamu gak berubah, dari kecil sampai sekarang masih suka ngelihatin hujan," kata Alina dengan mata yang berkaca-kaca.

Aku tersenyum simpul dengan setetes dua tetes air mata yang membasahi pipiku. Untuk pertama kali setelah hampir sepuluh tahun, aku kembali mendengar suara Alina yang berbicara padaku tanpa amarah dan perasaan sakit yang ia tunjukkan.

"Bagi aku hujan itu lebih dari sekadar tetesan air yang turun dari langit, hujan adalah teman yang gak bisa semua orang ngertiin," ucapku dengan suara yang juga bergetar.

"Termasuk aku,"

"Dulu aku juga gak ngerti kenapa kamu suka banget sama hujan, tapi sekarang aku baru sadar ternyata benar yang kamu bilang, hujan punya makna yang selama gak aku sadari," sambung Alina yang masih menatap hujan dengan tatapan yang getir.

"Kamu baik-baik aja, Al?" tanyaku dengan penuh kehati-hatian.

"Enggak Sajidah, semua gak baik-baik aja semenjak sepuluh tahun lalu, semenjak aku gak bersikap baik sama kamu, dan mulai sekarang aku ingin memperbaiki semuanya. Memperbaiki kesalahan aku ke kamu, memperbaiki keadaan yang runyam dengan keegoisan aku sendiri," jawab Alina yang menatapku dengan sorot mata yang sendu.

Aku diam tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun, bukan karena tidak ingin tapi ada kebahagiaan yang tidak bisa aku utarakan dengan kata.

"Maaf, selama ini sikap aku ke kamu jauh dari kata baik. Selama ini aku menjadikan kamu kambing hitam untuk kecelakaan yang terjadi sepuluh tahun lalu. Bukan tanpa alasan, meninggalnya ayah adalah luka tersakit yang pernah aku rasain, saat itu aku belum bisa terima keadaan sampai-sampai aku menyalahkan kamu yang gak salah apa-apa. Aku gak bisa berdamai dengan keadaan, walau aku tahu itu salah, yang cuma bisa aku lakuin menjadikan kamu sebagai pelampiasan dari semua rasa sakit dan trauma yang aku  punya. Maaf Sajidah, mungkin alasan yang aku punya gak bisa kamu terima, gak rasional dan gak bisa dicerna dengan akal sehat. Maaf, Sajidah," ucap Alina yang diiringi dengan air mata yang tumpah.

Tanpa jawaban, aku berhamburan memeluk Alina. Tangis haru mengisi keheningan di antara kami, saling melepas sakit dan luka yang selama ini terpendam. Jujur saja, hari ini adalah hari yang ku nantikan semenjak sepuluh tahun yang lalu. Bukan karena ingin mendengar permintaan maaf, tapi karena ingin memperbaiki semua keadaan yang berbalut luka. Tidak ada sama sekali dendam dan amarah yang tertuju kepada Alina, aku menyayanginya sebagaimana seorang kakak kepada adiknya.

Di Balik Senyum ✓ (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang