14. Secret admirer

1.7K 145 1
                                    


Beramalah tanpa perhitungan selagi masih di dunia, karena perhitungan amal hanya akan terjadi di akhirat kelak.


Sajidah Pov

Terik matahari pagi menyambut hangat kedatangan ku dan alina. Waktu menunjukan pukul 09.56 pagi. Ku helakan nafas pelan ketika aku dan alina sudah menginjakan kaki di rumah hanum. Ahad ini, aku sudah berjanji pada hanum untuk mengantarkan pesanan kuenya. Tampak dari penglihatanku, keluarga hanum sedang sibuknya membersihkan rumah mereka.

"Assalamu'alaikum"
Ucapku dan alina kompak.

"Wa'alaikumsalam, eh sajidah dan alina"
Jawab ibunya hanum seraya meletakan sapu yang ada di tangannya.

"Sedang sibuk ya tan? Maaf jidah mengganggu"

"Ah biasa saja, kamu ini seperti pertama kali bertemu tante"

"Hehe. Oh iya, ini kuenya tan semoga suka ya tan"
Ucapku to the point seraya menyerahkan sebuah keranjang yang berisi berbagai jenis kue.

"Iya, in syaa Allah tante suka kok. Ayo masuk dulu, nanti tante panggilkan hanum"
Tawar ibunya hanum.

"Tidak usah tan, jidah juga mau menemani alina ke toko ujung sana"
Tolak ku pelan dengan senyum sedari tadi yang tak luntur.

"Yasudah, ini uangnya. Kembaliannya ambil saja"

"Ini kebanyakan ten, sisanya masih ada lima puluh ribu"

"Tidak usah di kembalikan. Lagian tante lihat kamu dan sepupu kamu tidak pakai motor"

"Kami naik sepeda tan, hitung-hitung olahraga pagi"
Elak ku sopan.

"Tante mohon terima ya"
Mohon wanita paru baya itu yang mau tidak mau membuatku menerima uang itu.

"Jidah pamit dulu ya tan, terimakasih untuk semuanya. Salam saja untuk hanum, assalamu'alaikum"
Ucapku pada ibunya hanum seraya menyalami tangan kanannya.

"Wa'alaikumsalam"

"Assalamu'alaikum tante"
Ucap alina seraya melakukan pergerakan yang sama dengan ku.

"Wa'alaikumsalam. Fii amanillah sayang"

"Jazakillah khair tan"
Ucapku dan alina kompak.

Ku gayuh sepeda dengan sisa tenaga yang ada. Jujur, saat ini aku lelah. Jalan yang mendaki dan menurun membuat ku sedikit lebih susah. Namun demi alina aku harus tetap semamgat.

"Jid, berhenti. Biar aku saja yang menggonceng, kamu sudah lelah sepertinya"

"Aku sudah biasa begini al, kamu tenang saja. Sedikit lagi kita sampai kok"

Tidak ada lagi jawaban setelah itu. 10 menit kemudian aku parkirkan sepeda ku tepat di depan sebuah toko perlengkapan pakaian muslimah. Ya, akhirnya aku dan alina sudah sampai ke tempat tujuan yang kedua.

"Jid, tidak usah berlebihan. Masih ada khimar putih ku yang lama"
Ucap alina.

"Al, khimar kamu yang lama itu tidak menutup dada. Niat kamu kan mau hijrah, jadi pakaiannya juga harus diperbaiki dong"

"Aku tahu, tapi aku masih bisa mencari khimar putih ibu yang tidak dipakainya lagi, mubazir jika harus membeli baru"

"Al, aku cuma mau kamu jadi muslimah yang taat. Aku tidak mempermasalahkan nominalnya, ini semua karena Allah. Semua yang kita lakukan karena Allah tidak ada yang mubazirnya. Lagi pula bu'de sudah memberi izin kok, malah bu'de mendukung"

Alina lagi-lagi hanya terdiam dan mengikuti apa yang ku perintahkan. Aku tahu, saat ini dia sedang tidak baik-baik saja. Tampak dari sorot matanya memancarkan kesedihan.

Di Balik Senyum ✓ (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang