8. Bertamu

1.9K 171 0
                                    

Sebab hakikat mencinta tidak sebatas kata sifat tetapi juga kata kerja.

-Di Balik Senyum-

🌻🌻🌻

SAJIDAH'S POV

Aku menapakkan kaki di sebuah rumah yang cukup besar, terlihat dua buah mobil berjejer rapi di bagasi rumah serta taman bunga yang tampak serasi dengan cat rumah yang mendominasi warna biru langit. Baik aku atau pun Alina hanya berdiam diri di tempat, rasanya canggung untuk masuk ke rumah itu.

Sejenak aku memperhatikan pakaian yang ku kenakan, gamis coklat, khimar mocca, sepasang kaos kaki dan sandal menempel rapi di tubuh ku. Aku hela kan nafas kasar, paling tidak pakaian yang ku pakai ini cukup rapi dan bersih.

"Kenapa masih di luar? Ayo masuk, kalian kan tamu," kata Afnan yang datang membawa satu keranjang kue kemudian disusul Ghufron dan Dhanis yang juga membawa dua keranjang lainnya.

Sesuai dengan janji 12 hari yang lalu, Afnan memesan kue untuk acara syukuran ulang tahun mamanya. Tadi pagi sekitar jam 8 Afnan menjemput kue di rumah Bude yang katanya sekalian menjemput aku dan Alina. Jika datang untuk mengantarkannya kue saja aku tidak masalah, tapi untuk menjadi tamu, rasanya sedikit agak ragu.

"Eh kalian sudah datang, ayo masuk," sambut Bu Maida kepada kami.

"Itu kuenya letakkan di dapur ya," sambungnya memberi titah kepada Afnan dan dua teman lainnya.

Bu Maida menjamu kami dengan sangat baik yang membuat aku merasa sungkan. Beberapa tamu berdatangan karena memang aku dan Alina menjadi tamu pertama.

"Tante ke depan dulu ya, itu ada tamu dari panti, tehnya jangan lupa diminum nanti Afnan ke sini nemenin kalian," pamit Bu Maida kemudian beranjak berdiri. Semetara aku dan Alina mengiyakan apa yang Bu Maida katakan, attitude keluarga Afnan lagi-lagi membuatku kagum.

"Sajidah, Alina, ke taman belakang aja yuk," ucap Mba Ulfa dengan tiba-tiba yang membuat aku dan Alina sedikit terkejut dengan kedatangannya.

"Ayo, di belakang juga ada teman kalian yang lain," mendengar ajakan Mba Ulfa, dengan agak ragu aku dan Alina mengikuti arah langkah kaki Mba Ulfa.

"Yang datang circle kakak kelas semua, aku malu," bisik Alina kepada ku.

"Gapapa, ayo," lirihku kemudian menggandeng tangannya.

Sesampai di taman, terlihat ada 7 orang yang duduk di sana dengan beralaskan karpet. Syukurnya bukan hanya aku dan Alina yang perempuan di sini, ada Nadia dan Sintia yang tentunya mereka juga teman kelas Afnan.

Melihat kedatanganku dan Alina mereka menyambut dengan ramah terlebih Afnan sebagai tuan rumah. Kami bertegur sapa, meskipun tidak satu kelas dan tidak satu jurusan tetapi kami saling tahu, hanya saja memang hampir tidak pernah mengobrol.

"Itu Alina, adik sepupu gue juga. Dia kelas sepuluh IPA,", kata Ghufron memperkenalkan Alina yang sedari tadi hanya diam dan melemparkan senyum.

"Hai Alina," sapa Nadia dengan ramah.

"Iya kak," jawab Alina yang berusaha terlihat ramah.

"Agak mirip ya kalian, aku pikir tadi Alina adik kandung kamu, Sajidah," kata Sintia dengan kalimat yang sudah sering ku dengar dari banyak orang ketika pertama kali melihat aku dan Alina.

"Sama-sama cantik lagi," sambung Nadia yang membuatku semakin canggung.

"Iya bener," Sintia menyetujui.

"Semua perempuan cantik kok, lagi pula cantikan kalian," jawabku.

"Kamu gak sadar ya, cantikan kamu. Kamu pikir Ilham sama Sandi kenal kamu dari mana? Mereka tu matanya selalu fokus kalo ada yang bening, termasuk kamu di sekolah," ucap Nadia yang menyebutkan dua teman kelas lainnya yang juga ada di tempat.

Di Balik Senyum ✓ (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang