Another Love (2)

6.3K 59 1
                                    

Mei, 2012

"Mas Radit lagi apa?" ketikku cepat pada virtual keyboard di smartphone genggamanku. Sesekali nafasku masih sesenggukan. Mataku memburam berkat tumpukan air mata yang masih dengan gencar diproduksi. Kuseka bulir-bulir yang mulai mengalir dipipiku itu dengan telapak tanganku. Dan saat itulah smartphone-ku menyala diiringi dentingan kecil, Mas Radit membalas chatku di salah satu phone messenger yang biasa kami gunakan.

"lagi ngedit foto sedikit. Kenapa?" jawabnya.

"sibuk banget?" tanyaku lagi.

"enggak kok. Kamu kenapa? Ada yang mau dibicarain?" jawabnya singkat disertai pertanyaan.

"aku mau curhat.." jawabku disertai emoticon wajah menangis.

"kenapa? Jangan bilang kalau lagi galau.. hehe. "Curhat aja.. aku bener-bener ga dang sibuk kok" balasnya ramah.

"iya, galau tingkat tinggi nih mas.."

"yaudah.. cerita deh.."

"kakak-kakakku terus saja bermasalah dengan perkawinannya mas. Kak Verly dan suaminya bertengkar lagi semalam. Dan kini kak Verly tinggal di rumahku untuk sementara. Meski ia ga cerita apa penyebabnya, tapi sepertinya ini masalah serius. Kak Verly bahkan berniat untuk menggugat cerai kak Denis. Aku tak tahu pasti soal apa, tapi kurasa ada orang ketiga diantaranya. Karna aku pernah mendengar kata 'selingkuh dari mulut kakakku."

"Belum lagi dengan pernikahan kak Venita. Pernikahan mereka memang tidak pernah terdengar ribut seperti yang terjadi pada kak Verly, tapi aku sangat terkejut ketika berkunjung ke rumahnya minggu lalu. Pipi kak Venita memar-memar!" lanutku.

"trus.. trus.. kenapa itu?"

"Meski awalnya ia tak mengaku, akhirnya ia mengatakan bahwa suaminya kerap melakukan kekerasan baik fisik maupun verbal padanya"

"ya tuhan, benar-benar ga jantan! Lelaki macam apa yang tega memukul perempuan? Terlebih lagi pada perempuan yang ia cintai! Bodoh.." ucapnya disertai emoticon marah berasap.

"ya, benar-benar bodoh! Kejam!.. dan aku ga tahu apa yang harus kulakukan saat ini mas.. aku bingung banget mas.." ucapku disertai emoticon menangis lagi.

"Nya? Kamu nangis betulan?"

Belum sempat ku balas tiba-tiba avatarnya yang berkacamata itu sudah menghiasi layar lebar smartphoneku. Segera ku-drag gambar telepon warna hijau dilayarku ke arah kanan untuk menjawab panggilannya.

"ha.. halo?" jawabku bergetar.

"Nya, kamu baik-baik aja khan?" tanyanya di ujung telepon. Terdengar begitu khawatir.

"aku.. aku kasihan pada mereka mas.. aku ga tega.. tapi.. aku ga tahu apa yang harus aku lakuin.." ucapku terbata-bata tanpa sedikitpun basa-basi lagi. Suaraku bergetar. Aku berusaha menahan suara tangis yang rasanya sudah bercokol di tenggorokanku. Mas Radit terkesiap mendengarnya. Ia terdiam cukup lama. Menunggu tangisanku yang akhirnnya pecah itu hingga reda.

"mungkin agak sulit kalau kamu mencoba membantu menyelesaikan masalah mereka, biar bagaimana pun itu urusan internal keluarga mereka. Tapi setidaknya kamu bisa memberi dukungan moral pada kedua kakak kamu. kamu mungkin bisa menghibur mereka dan menguatkan mereka"

"ta.. tapi.. masalahnya dia ga mau mama tahu keadaannya! Aku bingung.. hanya aku yang tahu keadaannya, sementara aku ga bisa melakukan apa-apa.. aku bingung, Mas.." tuturku diakhiri tangisan panjang. Beberapa menit telah berlalu, tangisku pecah lagi dan belum mereda kembali. Mas Radit pun belum mengucapkan sepatah kata pun. Aku hanya mendengar hela nafas pelan beberapa kali dari ujung telepon.

Sepertinya ia juga tengah bingung dengan apa yang bisa ia lakukan untuk membantuku atau setidaknya memberikanku sebuah solusi.

Tangisku mulai mereda ketika mas Radit akhirnya berkata,

"apa.. apa kamu mau aku ke rumah kamu?" tanyanya ragu.

"ya?" tanyaku bingung. Berusaha memastikan pendengaranku, masih dengan suara parauku.

"mm.. maksudku.. apa kamu butuh teman untuk menenangkan perasaan kamu? ka.. kalau kamu memang butuh, aku bisa ke rumah kamu sekarang.." ucapnya sedikit gugup.

Aku terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Dadaku tiba-tiba saja terasa hangat.

"aku.. aku.. aku sebenarnya sangat butuh, dan ingin ada Mas Radit di sini. Tapi.. aku takut mama tahu keadaan kaka kalau mama melihat aku menangis. Dan juga.. aku takut kaka akan sangat merasa bersalah padaku jika ia tahu aku sampai menangis begini karna tak tega melihat keadaannya" jawabku terbata-bata. Namun kali ini bukan karna tangis. Tapi karna aku benar-benar merasa gugup..

Setelah itu aku sudah tidak dapat berkonsentrasi. aku merutuki perkataanku sendiri di dalam hati, karna mengatakan sesuatu yang sangat memalukan pada mas Radit. Yang aku dengar hanya ucapan mas Radit sesaat sebelum percakapan kami usai,

"yaudah.. sekarang kamu tidur dulu yah.. ga usah mikirin yang macam-macam. Yang perlu kamu ingat, kapan pun kamu butuh tempat curhat, kamu bisa segera hubungin aku. Aku akan selalu ada buat kamu.." ucapnya lembut.

Aku benar-benar dapat merasakan ketulusan dan perhatian dari nada suaranya. Lagi-lagi dadaku terasa hangat.

"te.. terima kasih ya, mas Radit.. aku ga tahu harus ngomong apa. Aku sebetulnya malu harus cerita masalah pribadi begini, tapi.. aku juga ga tahu kenapa yang terpikir olehku saat ini cuma mas Radit.." ucapku tertahan. Menyadari hal bodoh apalagi yang telah aku ucapkan. "entahlah. sepertinya setiap kali ada cerita susah dan sedih aku hanya ingin berbagi dengan mas Radit" candaku akhirnya. Berusaha mengalihkan pembicaraan. Dan berhasil. Mas Radit pun tertawa.

"bagus, ya! jadi Cuma yang susah dan sedih doank dibagi ke aku, trus kalo yang seneng-seneng kamu lupa sama aku!" ucapnya dengan nada marah dibuat-buat.

Aku tertawa mendengarnya. Syukurlah, semoga mas Radit benar-benar tidak menganggap serius ucapanku sebelumnya. Setelah itu kami pun benar-benar mengakhiri pembicaraan kami.

Ya tuhan.. ada apa ini? mengapa dadaku tiba-tiba saja terasa hangat setelah aku berbicara dengan mas Radit? Benar-benar ajaib! Beberapa menit sebelumnya aku benar-benar merasa sedih dan bingung. Tapi kini? Aku seakan lupa pada masalah-masalahku.

"Terima kasih, mas Radit.. terima kasih.." ucapku dalam hati. Dan kurasa malam ini aku akan tertidur dengan dihiasi senyuman dan mata yang sembab.

Kemudian aku mengirimkan sebuah pesan instan messenger ke ms Radit. Sekali lagi berterima kasih atas perhatian dan kebaikannya.

"mm.. mas Radit, sekali lagi aku betul-betul minta maaf harus curhat begini sama mas Radit. Mas Radit terpaksa harus mendengarkan cerita yang sebenernya ga penting banget buat ms Radit. tapi aku bingung harus bercerita ke siapa, aku ga mungkin menceritakan ini semua pada mama. Aku takut kesehatannya memburuk. Maaf ya, mas.. sekarang ini cuma mas Radit yang bisa jadi tempat curhatku.." ucapku tulus.

"gapapa.. membagi sebagian beban pikiran itu melegakan. Jangan ragu-ragu untuk cerita" jawabnya penuh perhatian.

"terima kasih ya, mas.. mas Radit emang the best deh! Hehe.."

"asyikk.. terima kasih = traktir donk.."

"huwahahahaaa.. beres deh! Warteg belakang kantor ya.. wkwkwk"

"ga ada yang lebih mahal lagi ya -_-?"

"hahahaaa.. let see deh ya.. hihi"

Seperti itulah hubungan kami sekarang, kami bukan lagi hanya sekedar karyawan dan atasannya. Kami sangat dekat. Sekarang kami sudah seperti sahabat baik. Atau kadang kami malah seperti kakak dan adik. Yang jelas, kini kami sudah saling ketergantungan. Interdependence..

Part of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang