DUA PULUH SEMBILAN

498 22 0
                                    

Pulang sekolah di sore hari. Para murid kelas Zahra memasang tampang lesu akibat ulangan mendadak yang diberikan oleh guru fisika. Akhirnya mereka mendapatkan nilai rata-rata 6 sampai 8. Sebagian besar mendapatkan nilai 7 kebawah, yang lain 7 keatas.

Yani mengeluh karena nilainya jelek. Ia termasuk kategori 7 ke bawah. Sama dengan Tati, namun gadis itu tak terpengaruh. Ia masih ceria, seceria matahari pagi. Zahra bingung. "Lo kenapa sih? Dapet nilai 6 kok malah cengengesan?" ujar Zahra.

Tati menatap mata Zahra. "Lo lupa? Kan gue mau dijemput sama Ayang babe gue hehe..." Yani dan Zahra memutar bolanya malas. Mereka sama sekali tak percaya Tati dijemput oleh seorang cowok kecuali Kakaknya, Tulus yang berbanding terbalik dengan namanya.

Beberapa saat kemudian, sebuah mobil yang dikenali Tati melaju lambat dihadapannya. Yani dan Zahra tertegun, beberapa murid di sekitar mereka juga menatap mobil tersebut.

Perlahan, kaca mobil terbuka, menampakkan sosok cowok cakep yang dikenal Tati. Zahra dan Yani melongo. Mirip Yudith, pikir Zahra dan Yani. Cowok itu tersenyum pada Tati. Tati membalasnya.

"Yudith?" tanya Zahra. Cowok itu menoleh. Lalu keluar dari mobil. "Jadi kamu yang namanya Zahra?" tanyanya. Zahra mengangguk. "Bang Adith kenal Zahra?" tanya Tati. "Oh enggak, cuma Yudith sering cerita soal Zahra," jawab Adith.

Ketiga cewek dihadapan Adith kini melongo bersamaan. "Jadi... Ini, abangnya Yudith?" cerocos Yani. Adith tersenyum, lalu mengangguk. Tatapan Adith beralih pada Zahra. "Kalian, abis putus ya?" tanyanya pada Zahra.

Zahra sedikit terkejut. "Yudith cerita ya?" tanyanya. Adith mengangguk. "Baikan aja lah... Itu cuma kesalahpahaman. Lisa sama Yudith memang udah lama pacaran, tapi mereka udah putus. Lisa-nya yang tetep ngejar Yudith..." jelas Adith.

Zahra menghembuskan nafas gusar. "Kalo itu gue, eh maksudnya, Saya tahu kak!" Adith tersenyum. "Gak usah pake bahasa formal, santai aja." Zahra mengangguk. "Tapi saya cuma ngerasa kalo saya ditembak dia cuma buat gantiin posisi Lisa! Saya gak suka!" bentak Zahra.

"Oke. Aku tahu kamu gak suka. Tapi coba pikirkan secara logis, jangan pake emosi. Yudith sama Lisa memang udah putus, tapi kalo Yudith emang cintanya sama kamu terus dia emang mau jadiin kamu pacarnya gimana? Dia bahkan bilang mau lakuin apa aja buat nyenengin kamu," jelas Adith. Zahra terdiam. Mencoba merenungkan kembali kata-kata Adith.

"Huh~ Sekarang kamu coba pikirin dulu keputusan kamu, saya gak akan maksa kamu buat balikan sama Yudith. Karena itu pilihan kamu sendiri," ucap Adith. Tatapan Adith langsung beralih pada Tati. "Tati, jadi kan?" tanyanya. Tati mengangguk. Kalau keduanya pun masuk ke dalam mobil Adith, yang langsung melaju meninggalkan sekolah.

Zahra masih terdiam. Yani merangkulnya. "Emang bener apa yang Bang Adith bilang, Ra. Lalu Yudith itu emang beneran cinta sama Lo," ucapnya. Lalu mereka pun berjalan pulang.

.
.
.

Di dalam mobil, Tati melirik Adith. Belum ada kata-kata atau kalimat yang keluar dari kedua mulut itu. Dilihatnya wajah Adith yang tampan tengah serius memandang ke depan.

"Kita mau ke mana?" tanya Tati. "Kemana lagi kalau bukan ke toko buku kesukaan kamu?"
"Hehe... Tapikan gue ke sana kalo mau ngadem doang."
"Gak pa pa, nanti aku bakalan bikin kamu beneran suka buku, jadi kamu masuk ke sana bukan cuma buat ngadem doang."
"Hehe... Ya udah."

Mobil Adith berhenti di depan toko buku, tempat pertama kali ia dan Tati bertemu. Ia memarkirkan mobilnya, lalu keluar menuju pintu Tati, hendak membukakan untuk gadis itu. Belum sempat ia membukanya, Tati telah lebih dulu membuka pintu dari dalam mobil sehingga pintu itu membentur kepala Adith dengan ringan.

Duk!

"Aduh!" keluh Adith begitu kepalanya mencium pintu mobil. "Eh, Bang Adith! Sorry banget! Gak sengaja!" Tati buru-buru minta maaf. "Iya gak pa pa, duh... Gak terlalu sakit kok." Walaupun Adith berkata begitu, namun Tati masih merasa khawatir, padahal tidak ada luka di dahi orang tampan itu.

"Ngapain? Masuk yuk!" ajak Adith. "Eh? Iya... Tapi, itu gak pa pa?" tanya Tati sambil menunjuk dahi Adith. Pria itu menggeleng, seraya berkata, "Gak pa pa."

Akhirnya, mereka pun berjalan beriringan memasuki toko buku itu.
"Kalo kamu mau beli buku, bilang ke aku ya..." ujar Adith begitu keduanya sampai di sebuah rak buku penuh yang berisi novel remaja. Tati menatapnya, "Kenapa?" "Biar aku beliin, ini juga upaya buat bikin kamu suka buku." Tati hanya manggut-manggut saja.

Cukup lama keduanya menghabiskan waktu di sana. Hingga Maghrib menjelang, mereka keluar dari toko buku tersebut dan memasuki mobil Adith.

"Sekarang, kita makan malam yuk?" ajak Adith.
"Hmmm... Gak pa pa nih? Gue masih pake baju SMA nih."
"Ya udah mau pulang dulu?"
Tati menggeleng. "Nanti gak dibolehin pergi sama Bang Tulus!"
Adith mengernyit bingung.

"Bang Tulus? Abangmu?" tanya Adith. "Iya, dia agresif banget! Apalagi kalo tahu kalo gue lagi jalan bareng elo, Kak! Pasti nanya macem-macem, bikin gue pusing!" Adith tertawa kecil. "Tandanya dia Abang yang penyayang tuh..."

Tati mengerucutkan bibirnya. "Huh! Penyayang apanya?! Sama sekali gak keliatan baiknya!" sergahnya. "Mungkin sekarang emang belum kelihatan, tapi nanti? Kita kan gak tahu..." Tati kembali manggut-manggut.

"Eh? Kok jadi ngomongin Bang Tulus, sih?!" tanyanya.
"Hahaha... Kan kamu duluan yang ngomong soal dia."
"Lah? Kan Kak Adith yang nanya, masa mau gue diemin?"
"Iya deh..."

Sesampainya di restoran tempat mereka makan malam, keduanya memasuki tempat itu bersamaan. Lalu duduk di salah satu meja yang berisikan dua kursi.

"Kamu mau pesan apa?" tanya Adith. Tak ada jawaban dari Tati. Gadis itu hanya diam membungkam. Adith mengernyit heran. "Kamu kenapa?" tanyanya lagi. "Eh? Beneran kita makan di sini?" tanyanya setengah berbisik saat ia kembali mengecek menu yang tersaji di restoran ini. Adith mengangguk. "Emang kenapa? Kamu gak suka? Mau cari tempat lain? Atau... Lagi gak ada duit, nih?" ledek Adith.

"Yeuh! Emang gak ada, sih hehe... Lagi bokek hehe... Mahal beud makanan di sini, pasti isinya cuma seulil," ucap Tati masih dengan nada setengah berbisik, takut didengar oleh pelayan restoran ini.

"Hush! Kamu kalau ngomong... Suka bener hehe..." Keduanya pun tertawa. "Gak pa pa, aku yang bayarin kok." "Heh?! Gak ah! Masa Lo bayarin gue lagi?! Gak enak guenya, Kak!" Adith menggeleng. "Gak pa pa..." "Ish si Kakak mah! Gak pa pa, gak pa pa mulu! Gak ada jawaban lain kah?!" Adith menggeleng.

Mereka pun memesan makanan pilihan Adith. Tati tak tahu menahu dengan makanan yang super mewah ini. Ia hanya tahu soal makanan yang biasa ia makan sehari-hari. Misal, tahu, tempe, semur jengkol, sayur sop dan lainnya.

"Soal Zahra sama Yudith, gimana Kak?" tanya Tati tiba-tiba. "Gimana? Maksudnya?" Adith mengerutkan keningnya. "Gue mau mereka nyatu lagi, walau emang sudah sih kayaknya. Tergantung sama Zahra..." ucap Tati. Adith manggut-manggut. "Sama. Aku juga maunya kayak gitu."

Pesanan mereka datang selang beberapa menit kemudian. Langsung dilahap oleh keduanya yang kelaparan. Selang beberapa menit kemudian pula, makanan yang tadi terhidang di meja sudah tandas semuanya.

"Kak Adith beneran mau bayarin gue?" tanya Tati ragu.
"Iya, kamu gak percaya?"
"Hehe... Bukannya gak percaya, kurang percaya, kan kita baru kenal beberapa Minggu yang lalu."
"Kalau gitu, aku bakal bikin kamu seutuhnya percaya sama Aku."

Tati tersipu malu mendengar pernyataan dari Adith. "Ya udah, gue tunggu di luar ya Kak?" Adith mengangguk.

.
.
.

Zahra berbaring di atas kasurnya. Matanya menatap langit-langit kamar. Pikirannya masih terpaku pada omongan Adith soal ia harus mempercayai kata-kata Yudith.

"Huft~ Gak segampang itu kali buat percaya sama orang!" katanya pada diri sendiri. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Langsung ia sambar benda persegi panjang itu.

Pesan dari Yudith. Ia membukanya.
Yudith
Maafin aku...
Aku gak bermaksud mainin perasaan kamu...
Aku gak maksa kamu buat balikan sama aku...
Tapi terima maaf ku ya?

Mata Zahra terpejam begitu selesai membaca pesan tersebut. "Bukan hal yang gampang buat maafin kamu!" gumamnya lagi.

ZAHRA✓[COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang