TIGA PULUH SATU

490 18 0
                                    

Zahra berlari-lari, berteriak meminta tolong. Tapi tak ada yang menyahut. Ia sendirian di hutan ini. Terasingkan. Sendirian. Gelap. Dingin. Dan sendirian.

Mengapa tiba-tiba ia berada di sini? Mengapa hanya ia sendiri yang berada di sini? Tiba-tiba sebuah suara berseru memanggil namanya.

"Zahra! Zahra! Zahra!"

Zahra menoleh ke kanan-kiri. Tak ada seseorang. Tapi suara itu masih terdengar. Ia menengadahkan kepalanya. Suara itu. Terdengar dari langit yang mendung di atasnya.

Mata Zahra membelalak. Ada sinar yang amat terang. Tiba-tiba, semuanya putih.

"Zahra!" teriak Yani membangunkan gadis di sampingnya itu.

Mata Zahra membelalak. Keringat mengucur di dahinya. Nafasnya tidak teratur. Ia menoleh pada Yani. Raut wajahnya seperti membentuk tanda tanya, "kenapa?"

"Kita udah mau sampe, periksa barang-barang Lo!" jelas Yani sambil meneliti isi tasnya. Zahra melakukan hal yang sama.

Zahra kembali menoleh pada Yani. Di samping gadis itu, salah satu temannya hilang. "Tati pergi ke toilet," jawab Yani serasa bisa membaca pikiran Zahra. Zahra hanya mengangguk dan kembali melihat isi-isi tasnya.

Benar saja. Beberapa menit kemudian, terdengar pengumuman bahwa pesawat akan mendarat. Para murid yang sudah bangun subuh-subuh begini langsung berdoa supaya mendaratnya pesawat ini akan berjalan lancar. Doa mereka terkabul. Pesawat mendarat dengan sempurna.

Beberapa saat kemudian, para murid dan panitia serta guru-guru diperbolehkan turun ke bandara Ngurah Rai. Mereka turun dengan tertib. Berbaris rapi menuju lobi. Mereka menunggu beberapa guru yang sedang mengambil tas mereka. Lalu akhirnya mereka keluar dari bandara Ngurah Rai, memasuki bus yang sudah di pesan sekolah, lalu menuju hotel untuk menginap di sana.

.
.
.

Lisa mengepalkan tangannya! Air matanya sedari tadi tak berhenti menangis. "Huhuhu... Yudith!!!" teriaknya.

"Udah deh! Gak usah lebay! Lagian salah kamu sendiri kalian putus kan?!" ucap Felly tegas__teman Lisa.

"Ih! Tapi kalo cewek itu gak ada! Yudith pasti mau balikan sama aku lagi!" Felly memutar bola matanya malas. Sahabatnya satu ini memang susah sekali diberi tahu.

"Ah! Aku gak mau tahu! Pokoknya! Yudith harus balik sama aku!!!" tegasnya. Felly, kembali memutar bola matanya.

"Yah... Kalo itu mau kamu, ya udah! Lagian kenapa gak kamu kasih pelajaran tuh cewek? Biasanya kamu begitu, kan?" usul Felly. Lisa berhenti merengek.

Felly benar, kok aku gak kasih dia pelajaran, sih? Hmmm... pikir Lisa sambil tersenyum miris. Ia lalu menoleh pada Felly lalu tersenyum hangat. "Makasih ya, Fell! Kamu udah kasih aku ide buat ngajarin cewek itu tata krama!" ucapnya. Felly tersenyum.

"Hehe... Awas aja kamu, Zahra. Sebentar lagi hubungan kamu sama Yudith bakalan makin retak!" gumamnya pada bayangannya yang terpantul di cermin. Felly tersenyum di belakangnya.

.
.
.

Rifa membenarkan letak ranselnya. Ia kini sudah berdiri di depan kamarnya. Ia berharap teman sekamarnya tidak berisik. Ia lalu mulai membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci dari dalam.

Ia melangkah masuk setelah membuka sepatunya. Sunyi. Ia kembali berharap teman sekamarnya bukanlah...

"Zahra?" ucapnya pelan.

Zahra menoleh. "Rifa?" Tati dan Yani pun ikut menoleh. "Lho kok, Lo bisa masuk ke sini?" sergah Tati dengan raut muka sebal.

"Gue disuruh Bu Anisa gabung di kamar ini karena gak dapet teman sekamar! Kenapa? Lo ada masalah?" tanya Rifa dengan kedua tangan yang disilangkan di depan dada.

"Udah deh... Jangan bikin suasana canggung. Kita damai aja yuk?" ajak Yani. "Apaan sih damai-damai?! Lo gak tau apa, Yan? Si Rifa itu pengkhianat! Gue gak suka dia!" "Udah deh, Ti! Lo gak boleh gitu!" ucap Zahra.

"Ra, Lo masih mau nerima cewek kayak dia? Dia udah bikin Lo sakit hati, Ra!" jelas Tati tak mau kalah. Ia kini berada pendapatnyalah yang paling benar.

Zahra diam sejenak.

"Itu bukan salah Rifa. Gue juga salah," tukas Zahra yang membuat seisi kamar itu terkejut bukan main. "Maksud Lo apa?" tanya Tati.

"Rifa udah lebih dulu suka sama Yudith sejak SMP. Dan gue, gak, kita berdua gak tahu hal itu. Sebelum Rifa jadian sama Yudith, gue sempet ketemu cowok itu berulang kali. Dan kali terakhirnya, dia bilang dia suka gue. Dan gue gak tahu kalo dia udah jadi pacarnya Rifa. Dan gue, awalnya nolak dia... Tapi lama-kelamaan, gue makin ada rasa sama dia juga, dan akhirnya gue jadian sama dia. Tapi ternyata, gue malah bikin hati sahabat gue patah karena ulah gue sendiri... Jadi ini bukan seutuhnya kesalahan Rifa, ini juga salah gue..." jelas Zahra.

Semuanya terdiam. Tati masih menganga lebar. Matanya masih melebar pula. Kemudian ia menatap Rifa yang tengah menatap Zahra dengan mata berbinar.

"Sekarang Lo udah tau, kan?" ucap Yani pada Tati. Tati menoleh pada Yani, lalu kembali menatap Rifa yang juga ikut menatapnya. Dengan tatapan berbeda tentunya. Lebih lembut dari yang tadi.

"Maafin gue, Rif. Gue emang sok tau..."
"Gue juga minta maaf."
"Iya."

Keduanya pun berpelukan. Di dalam hati, Rifa bergumam, Ra, Lo masih aja mau belajar gue. Padahal gue gak bener-bener mau baikan lagi sama Lo. Ra, gue gak butuh lagi Yudith. Gue butuh Lo, sama temen-temen kita yang dulu. Gue mau kita ngumpul lagi kayak dulu...

.
.
.

Malam berganti pagi. Udara sejuk terhirup oleh kedua lubang hidung Zahra yang baru saja membuka jendela kamarnya. Dibelakangnya, Rifa baru saja bangun dari tidur nyenyaknya.

"Ra... Ngapain?" tanya Rifa. "Gak, gue cuma lagi butuh udara segar aja, kok," sahut Zahra. Rifa mengangguk, tanda mengerti.

Rifa, kembali berkata, "Ra, gue mandi duluan ya?" Kali ini Zahra hanya mengangguk. Segera Rifa membawa handuknya menuju kamar mandi.

Zahra menoleh pada Yani dan Tati yang masih asyik di dunia mimpi. Kemudian ia tersenyum kecil. "Makasih buat Lo semua..." ucapnya pelan.

ZAHRA✓[COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang