"Rin, lu putus sama Deva?" Pertanyaan yang sudah aku dengar sebanyak ratusan kali. Hubunganku sudah berakhir dengannya selama sepuluh hari, tetapi tetap saja aku menjadi bahan pembicaraan sekolah.
"Iya." Balasku.
"Kemarin Deva jadian sama sekertaris majalah sekolah kita. Gue yakin, dia pelampiasan." Aku sudah bosan mendengar kalimat itu.
Hubunganku dan Deva sudah berakhir. Jika mata kami bertemu, akan ada perasaan canggung yang muncul. Aku sering melihat Deva berjalan bersama Navira, seorang sekertaris majalah sekolah dan salah satu siswi yang cantik di mata pria.
Semudah itu pria mengakhiri hubungan dengan wanita. Aku tak tahu dan tak peduli apakah Deva tulus atau menjadikan Navira sebagai pelampiasan. Namun, aku paham akan suatu hal. Jika dia sudah memutuskan bersama wanita lain, Deva memilih untuk menyerah dan benar-benar melepasku.
"Rin, ini buku catatan yang pernah lu titip ke gue." Deva muncul dihadapanku dan memberikan buku tulis yang pernah aku titipkan padanya.
Aku pun mengucapkan terima kasih dan tersenyum padanya. Bagaimanapun selama ini ia adalah pria yang baik padaku, setidaknya aku harus tetap bersikap baik meski hubungan kami telah berakhir.
"Rin, sejujurnya gue masih sayang sama lu." Kalimat yang seharsnya tak diucapkan Deva pun terdengar.
"Gue rasa kalimat itu gak baik buat bercanda." Balasku. Tak ada lagi senyum di wajahku.
"Gue serius." Balas Deva.
"Orang yang lu pilih adalah Navira, Dev." Aku pun menekankan hal yang mungkin telah Deva lupakan.
Aku pun menjauh darinya. Aku tak suka akan kalimat yang baru saja ia ucapkan. Jika ia benar-benar menyayangiku, seharusnya ia tak memilih Navira. Aku juga wanita, jika aku adalah Navira maka aku tak ingin tersakiti.
Deva pun mengejar dan berdiri di hadapanku. Ia menghalangi langkahku. Wajahnya mengisi semua sudut pandangku.
"Navira yang nembak gue. Gue terpaksa jadikan dia pelampiasan. Tujuan gue jujur ke lu bukan untuk ajak lu balikan dan nyakitin Navira. Dan gue mohon untuk dengar penjelasan gue, Rin."
Aku diam. Kedua mataku siap menatap wajahnya. Kedua telingaku siap mendengarkannya. Namun, hanya hatiku yang terasa takut akan semua yang akan Deva lakukan. Jantungku terus berdebar karena aku takut rasa kecewa muncul. Otak terus saja menebak apa yang akan ia katakan.
"Gue mau kita putus baik-baik, Rin. Jujur, gue masih sayang sama lu tetapi gue gak bisa terima kalau lu memilih orang lain karena gue yakin kalau mencintai bukanlah untuk menyakiti. Gue gak mau lu terus bohong dengan perasaan lu sendiri dan gue gak bisa terima kalau gue yang akan menjadi orang yang tersakiti. Gue yakin ini yang terbaik."
Mungkin karena Deva anggota osis, aku merasa sedang mendengar Deva berpidato. Lagipula, kami masih muda dan aku tak ingin memiliki kisah cinta yang terlalu berlebihan atau dramatis. Aku senang jika orang yang berfikiran dewasa seperti Deva telah memilihku untuk menempati hatinya.
"Kenapa harus jadikan Navira pelampiasan, Dev? Gue tahu itu hak lu, tapi menyakiti seseorang untuk merasa lebih baik bukan hal yang dimasuk akal." Balasku.
"Gue cuma mau kasih kesempatan untuk Navira. Gue juga mau kasih hati gue kesempatan untuk berlabuh. Apa itu salah?" Balas Deva.
Aku tertawa saat mendengar Deva membalas perkataanku. Tawaku sangat lepas dan suaraku begitu keras. Beberapa siswa di sekitar kami pun menoleh karena tawaku begitu lepas. Wajahku memerah dan nafasku terasa sesak karena aku tertawa begitu berlebihan.
"Lu terlalu berlebihan, gue cuma nanya dan kenapa lu terlalu puitis?"
Deva menundukan kepalanya, ia malu. Ia menyembunyikan kepalanya. Aku berusaha menghentikan tawaku agar ia tak merasa tersinggung.
"Gue duluan, Dev." Aku pun meninggalkannya.
Wajah kami tak lagi bertemu. Punggung kami mulai berhadap-hadapan tetapi semakin jauh karena langkahku menjauhinya. Aku tak tahu harus pergi kemana, hanya saja aku tak ingin melihat wajahnya. Semakin melihat Deva, aku semakin merasa bersalah karena telah menyakitinya dan semakin menyesal karena telah membuatnya menjauhiku.
"Rini." Teriak Deva. Aku tak menoleh. Aku tahu jika ia hanya ingin mengatakan kata maaf atau menjelaskan alasannya untuk mengakhiri hubungan kami.
Aku tak lagi menoleh. Aku melanjutkan langkahku. Aku terlalu takut untuk melihat wajahnya.
"Deva, lu masih boleh pinjam catatan gue." Aku berteriak tanpa menoleh untuk melihat Deva. Ia semakin jauh.
"Terimakasih, Rin!" Balas Deva.
Kami mengakhiri hubungan kami dengan baik-baik. Tak ada lagi rasa kesalku untuk Deva karena ia telah menjelaskan alasannya padakj. Ia tak salah, aku yang salah. Aku memiliki hati yang mudah goyah. Kini hanya ada rasa sesal yang bersarang dalam hatiku.
Aku memang tertawa, tetapi mengapa hatiku terasa penuh dengan sayatan yang ditembus oleh pisau belati.

KAMU SEDANG MEMBACA
Three Seconds
Teen FictionJika cinta bisa muncul setiap 3 detik, mungkinkah cinta itu akan bertahan?