18

505 12 0
                                    

"Semua mahasiswa sekarang kumpul di depan gedung fakultasnya!"

Aku tak tahu senior merasa lebih lelah dariku atau tidak. Setiap detik berteriak dan mengurus semua mahasiswa. Aku saja yang hanya duduk sangat lelah dan jenuh.

Aku menoleh. Aku melihat seorang senior yang kemarin foto bersamaku. Haruskah aku bertanya apakah tadi pagi ia menghubungiku? Tidak! Aku lupa jika aku sudah memaki orang itu. Aku harus yakin orang yang menghubungiku adalah penipu.

"Setiap mahasiswa sudah punya nomor, ya! Sekarang nomornya diberikan ke senior dan ditukar dengan kupon makan siang dan nametag. Yang sudah segera ke ruangan sesuai nomor."

Aku segera menghampiri salah satu senior. Aku tidak ingin membuat diriku semakin lelah.

"Kak." Aku memberikan nomorku dengan sangat ramah.

"Nama?" Tanya senior wanita itu.

"Rini, kak." Jawabku.

"Nomor kamu salah. Kamu pergi ke kantin dan cari penjual yang jual nasi padang. Disana ada cowok pake almamater, namanya Rian, kamu minta nomor baru sama Rian. Oh iya, tanya dia lagi ngapain."

Dari semua nomor, mengapa nomorku yang harus memiliki kesalahan. Aku pun segera menuju kantin. Beruntung, tempat jual nasi padang sangat mudah untuk ditemukan.

"Kak, nama saya Rini. Saya mau tukar nomor." Aku segera meminta nomor saat seorang senior dengan nametag Rian telah di hadapanku.

Mataku membesar saat aku sadar orang itu adalah senior yang berfoto denganku. Aku harap wajahku tidak lagi memerah. Aku berpura-pura tak pernah mengenalnya.

"Kenapa kesini?" Tanya pria itu.

"Minta nomor, kak." Jawabku.

"Lu gak nanya gue ngapain disini?" Wajahnya mulai menyeramkan.

"Kakak lagi apa?"

"Gue lagi beli otak. Tadi pas gue ngehubungin teman adik gue, gue difitnah penipu. Parahnya, gue disuruh beli otak. Dan..."

"Jadi kakak yang telfon?" Tanyaku.

"Iya." Jawabnya dengan cetus. Aku takut. Rasanya aku ingin kabur darisini.

"Kak, maafin aku."

"Gue maafin kalau lu beli otak. Beli!" Pintanya.

Aku pun menunduk. Tak tahu harus merasa bersalah atau merasa malu. Aku kesal dengan diriku sendiri.

"Hahaha jangan takut! Lisa belum cerita?" Kak Rian mulai bertanya dengan tersenyum. Sepertinya, ia memang mengenal Lisa.

"Belum." Balasku.

"Gue kakaknya Lisa, Rian. Lu lupa sama gue?"

Mataku membesar. Apa? Aku lupa jika Lisa memiliki kakak laki-laki. Andai aku cepat sadar jika ia adalah kakak dari Lisa. Pantas saja wajah mereka mirip.

"Kak Rian, kenapa di Indonesia?" Tanyaku saat aku menyadari jika pria yang ada didepan mataku adalah kakak kandung Lisa.

"Mau jadi presiden, biar bisa foto sama kamu haha." Candanya.

Apakah ia berusaha melucu? Itu tidak lucu.

"Tolong, jangan bikin aku malu!" Balasku dengan kesal. Ia tertawa.

"Kakak, kenapa gak kuliah di jepang?" Tanyaku lagi. Bertanya hanya untuk memastikan jika jawaban dari pertanyaan itu sesuai dengan perkiraanku.

"Mau coba cari ilmu di negara sendiri."

Aku tidak yakin dengan alasan itu. Lisa sering sekali menceritakan Rian padaku. Aku hanya tahu jika Rian tidak ingin mengikuti perintah orang tuanya yang selalu menyusun rencana untuk masa depannya. Aku menduga jika ia ingin menjauhi perintah orang tuanya.

"Aku sampai lupa wajah kakak, loh. Mungkin sepuluh tahun kita gak ketemu. Dulu kakak selalu main sama aku sampai Lisa marah." Aku membuka pembicaraan lain.

"Sekarang Lisa gak akan marah kalau aku main sama kamu terus."

"Kenapa?" Tanyaku.

"Lisa di Jepang. Dia udah jadi patung kalau ketemu buku haha." Ia menertawakan kalimat yang menurutku itu tak perlu ditertawakan.

"Kak, gak lucu."

Three SecondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang