11

570 15 0
                                    

"Aku senang banget, sebentar lagi kita ujian. Rasanya waktu cepat berlalu. Aku gak nyangka kalau kita akan jadi mahasiswa. Aku mau kuliah di Bandung, kalau kamu? Kamu mau coba tes di Bandung, Rin?"

"Kamu mau temani aku ke Pondok Indah Mall, Rin?" 

"Kamu mau pulang, ya?" 

Mataku menatap pemandangan yang aku lawati. Lalu lintas di siang hari selalu membuat kebisingan, telingaku pun hampir mati rasa. Banyak sekali debu dan polusi, membuat wajahku terasa sangat kotor. Meski terdapat beberapa pohon di tepi jalan yang cukup menghambat terik matahari, tetap saja keringat keluar dari kulitku hingga keningku terasa basah. Terik matahari membuatku menyipitkan mataku. Berjalan kaki sepulang sekolah sangatlah melelahkan, namun apa boleh buat jika Deva menganggap hal ini adalah nuansa romantis.

"Kamu marah, Rin?" 

"Rini!!!" 

"Kenapa, Lucas?!" 

Aku membalas dengan intonasi yang terdengar sedikit menyeramkan, mungkin terdengar seperti aku sedang marah. Aku tak tahu respon itu keluar begitu saja dari lisanku. Aku menoleh ke arah kananku. Aku menghentikan langkahku karena aku cukup bingung, mengapa aku melangkah seorang diri di tepi jalan raya?

Aku pun menoleh ke belakang tubuhku. Menatap Deva dengan tatapanku seakan bertanya mengapa ekspresi wajahnya begitu menakutkan. Deva tak menghampiriku, begitupun aku. Mata kami bertemu, tetap saja aku tidak mengerti dengan situasi ini. Aku tetap tidak mengerti mengapa ia hanya membatu, tak bersuara dan tidak bergerak.

"Oh, Lucas haha." Ia menyebut nama Lucas bersamaan dengan tawanya, bukan tawa yang biasa ia keluarkan.

"Lucas?" Balasku, aku tidak mengerti mengapa Deva menyebut nama Lucas di hadapanku.

Deva menghampiriku, tetapi tak lagi menatap mataku. Rasanya ada yang ia sembunyikan. Aku sadar jika aku baru saja melakukan kesalahan dan aku tak tahu apa kesalahhanku itu. Kini ia melangkah melewatiku, dan ia berjalan begitu saja. Aku melangkah dengan cepat agar dapat menyusul langkah kakinya. Aku berusaha untuk tetap berjalan beriringan dengan Deva.

"Maaf kalau aku salah, tapi kenapa kamu marah?" Tanyaku dengan suara yang lebih pelan dari biasanya.

Langkah Deva terhenti lagi, mata kami pun bertemu kembali. Aku berusaha tersenyum padanya agar ia tak lagi marah. Aku berharap ia memberiku senyuman, seperti yang selalu ia lakukan padaku.

"Lupakan!" Pintanya dengan suara yang lembut. Dia pun tersenyum padaku.

Kami pun melangkah kembali, kali ini ia tak mengeluarkan suaranya. Hanya diam. Mungkin aku terlalu hanyut dalam fikiranku sendiri sehingga aku mengabaikan Deva. Aku tahu jika Deva adalah pria yang banyak bicara, terutama denganku. Aku merasa telah mengabaikan Deva. Lagi-lagi aku merasa bersalah padanya.

"Rin, kamu suka Lucas?" Aku tidak menyukai pertanyaan yang ia ajukan.

"Kalau aku jawab iya? haha." Aku mengajaknya bercanda agar suasana diantara kami tidak kembali menjadi tegang.

"Ayo, kita putus!" Tak ada lagi senyuman, aku merasa ia sangat serius.

"Aku bercanda, Deva." Aku menjelaskan.

"Kenapa bercanda?" Balasnya dengan pertanyaan, pertanyaan yang berhasil membuatku merasa takut untuk menjawab pertanyaannya.

Langkah kami terhenti. Deva tak lagi menatap diriku, bahkan ia memalingkan wajahnya seakan tidak ingin melihat diriku lagi. Untuk pertama kalinya aku melihat dirinya marah dengan amarah yang tidak tertahankan lagi.

"Untuk apa mempertahankan sesuatu yang bukan milikku?" Deva berbicara tanpa menatapku.

"Lagipula, pasti ada akhir di setiap kisah." Lanjut Deva, aku tak sanggup berbicara lagi.

"Hubungan kita berakhir sebagai kekasih, tetapi kita tetap berteman. Aku harap Lucas memang yang terbaik untukmu." Deva melanjutkan langkahnya, aku berusaha menyusulnya tetapi langkahnya semakin cepat. Ia tak menoleh padaku, sedetikpun. Deva meninggalkanku.

Deva mengakhiri hubungan ini begitu saja. Aku tidak mampu mengeluarkan kata-kata untuk menolak pernyataannya. Semua yang dikatakan Deva memang benar. Aku tahu jika hatiku sering sekali bimbang, tetapi bukan keinginanku untuk mengakhiri hubunganku dengan Deva karena Lucas. 

Untuk pertama kalinya Deva menyakitiku, walau aku tahu jika aku yang menyakitinya lebih dulu. Aku tak tahu harus menyalahkan siapa.

Siapa yang salah?

...
Bersambung.


Three SecondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang