14

602 17 0
                                    

"Ayo, pulang!" Ajak Lucas.

Angin begitu kencang hingga pepohonan bergoyang. Rambutku juga terriup sesuai arah angin. Dedaunan mulai berpisah dengan ranting atau batangnya karena paksaan angin yang berhembus begitu kencang. Dingin sekali, kulit bahkan terasa mengeras karena dingin yang begitu menusuk.

Jutaan, Miliaran tetesan air dari langit jatuh ke bumi. Awan hitam terlihat sangat sendu dan hujan bagai air mata dari awan gelap itu. Langit sangat kelabu. Sesekali muncul sebuah kilat di langit, disusul oleh suaranya yang cukup menakutkan. Sangat gaduh, tetesan air hujan menyerbu atap sekolahku.

"Bawa payung?" Tanyaku pada Lucas.

"Nggak." Balasnya. Aku mengabaikannya. Ia mengajakku pulang untuk menembus hujan yang mampu membasahi seluruh tubuhku. 

Sekolah sangat sepi karena telah lima sore. Aku menyesal karena baru berniat pulang, tetapi apa boleh buat karena aku harus menghadiri rapat tim redaksi majalah. Sialnya, aku yang harus hadir sebagai tim redaksi majalah yang telah turun jabatan. Kehadiranku hanya memberikan sedikit saran, bahkan rasanya aku sangat tidak penting untuk hadir rapat saat itu. 

Lucas pun melangkah menembus hujan. Ia melangkah menjauhiku. Seharusnya ia telah pulang tiga jam yang lalu, ia menungguku agar kami dapat pulang bersama. Pada akhirnya ia meninggalkanku sendiri, aku yakin ia tak tahan untuk menunggu lebih lama lagi. Usaha yang sia-sia.

"Ayo!" Teriakan Lucas melawan suara air hujan yang menyerbu atap sekolah.

"Nggak!" Teriakku. Lucas pun meninggalkanku.

Dia fikir aku akan rela untuk melawan derasnya hujan dan merelakan tubuhku basah dan kedinginan, tidak akan terjadi. Aku juga tidak suka membiarkan sepatuku basah dan terkena genangan air yang kotor. Lebih baik aku menunggu hujan yang deras ini berubah menjadi rintikan gerimis yang romantis, walau aku pulang sendiri dalam status jomblo.

Ponselku berbunyi. Rupanya sebuah nomor internasional menghubungiku. Lisa, sahabatku sejak kecil menghubungiku. Senyumku pun mulai terlukis di wajahku. Aku merindukannya, sudah lima tahun tak bertemu dan satu bulan tak berkomunikasi. Ini resiko memiliki sahabat yang tidak memiliki media sosial dan hanya bisa dihubungi via telfon atau email.

[Kangen!] Ia berteriak padaku. Suara berisik yang ditimbulkan hujan pun berhasil melawan suaranya.

"Wajar, gue kan gampang dikangenin." Balasku dengan percaya diri. Tawanya pun terdengar.

[Lagi jalan sama Deva? Kalau lagi sama Deva, gue telfon nanti malam aja.]

Aku tak percaya dia akan menyebut nama Deva. Lisa memang orang yang sangat mengetahui diriku, terutama hubunganku dengan Deva. Aku selalu menyebut nama Deva saat aku dimabuk cinta dengan Deva atau sedang bertengkar dengan Deva.

"Gue putus." Balasku.

[APA?!] Teriakan Lisa mengalahkan suara petir.

"Salah paham dan gue terlalu takut untuk memaksakan hubungan ini."

[Sebulan yang lalu Deva telfon gue, dia cerita semua masalah kalian. Gue paksa dia buat berjuang, Rin. Kenapa dia menyerah?]

"Lu tahu?" Tanyaku.

[Sorry, Deva minta supaya cerita dia dirahasiakan.]

"Lucas, Lis." Ucapku.

[I know.]

Aku tak lagi menceritakan hal tentang Lucas kepada Lisa karena aku, Lucas dan Lisa telah saling mengenal satu sama lain sejak kecil. Aku dan Deva juga telah menceritakan Lucas yang memasuki kisahku dan Deva secara tiba-tiba, lebih tepatnya aku yang menghadirkan Lucas dalam cerita kami. Deva dan Lisa pernah bertemu saat mereka bermain ke rumahku, saat itu Deva dan aku masih menjadi teman. Namun, setiap Deva ingin mencari informasi tentangku atau Deva ingin mencari solusi tentang masalah dengan hubunganku dan Deva, sesekali Deva menghubungi Lisa. Meski aku memiliki teman di kelasku, hanya Lisa yang sangat mengetahui diriku.

"Dia fikir gue suka sama Lucas." Aku menceritakan inti masalah.

[Itu memang fakta, Rin.]

"Tapi..."

[Kalau itu salah paham, gak mungkin Deva menyerah dan lu gak mungkin diam. Deva cerita kalau lu sering cerita semua hal tentang Lucas, lu sebut nama Deva jadi Lucas dan setiap benda yang berhubungan sama Lucas akan lu ceritakan ke Deva. Deva juga tahu kalau lu sering lihat dia dari jauh. Lu bilang benci tetapi sering tertawa bareng Lucas.]

"Gue gak tahu kalau gue sejahat itu." 

[Gak ada yang salah, Rin. Lu gak boleh menipu hati lu sendiri dan Deva gak boleh egois dengan perasaannya sendiri.]

"Gue merasa hampa sejak putus. Apa yang harus gue lakukan, Lisa?"

[Belajar.]

"Apa?" Aku merasa mendengar kata yang salah.

[Belajar, Rin. Sebentar lagi di Indonesia Ujian Nasional dan tes masuk universitas, kan?]

Sahabatku benar-benar menjadi orang Jepang. Dia menyarankan aku untuk belajar saat aku kebingungan memikirkan cinta yang rumit. Aku salah meminta pendapat dari seorang kutu buku.

"Iya." Balasku cukup ketus dan Lisa tertawa.

[Belajar buat ujian, tes masuk universitas dan belajar memahami perasaan lu sendiri.]

[Apakah hati lu suka dengan Lucas atau Deva? Apakah lu sedang jatuh cinta dengan Lucas atau bosan dengan Deva? Lu harus tahu jawabannya. Semua orang pasti bosan, tetapi hanya perasaan yang bisa membatasi rasa bosan itu. Hanya true love yang mampu menghentikan rasa bosan itu. Dan lu juga tahu kalau jatuh cinta gak perlu waktu lama, kan.]

"Tiga detik, butuh tiga detik untuk jatuh cinta."

[Mungkin lebih cepat. Lagipula kita masih muda, jangan terlalu larut dalam sebuah drama!]

Aku tak menyesal telah menceritakan perasaanku pada Lisa. Aku mulai tahu apa kesalahan terbesarku dan apa yang salah dari perasaanku.  Ayahnya seorang dokter bedah saraf dan profesor di Jepang. Ibu Lisa seorang perawat dalam pelayanan Hemodialisa di salah satu rumah sakit di Jepang. Aku rasa Lisa adalah seorang dokter cinta dan perawat patah hati.

"Rini!" Aku mendengar suara Lucas.

Mataku melihat Lucas membawakan sebuah plastik hitam. Seluruh tubuhnya telah basah oleh air hujan. Meski jalanan sangat licin, Lucas tetap berlari ke arahku berdiri. Aku membencinya, bukan karena meninggalkanku tetapi karena ia sibuk bermain bersama hujan.

[Rin, kamu mau kuliah dimana?] Lisa mengajakku berbincang kembali.

"Bandung." Balasku. Aku menjawab pertanyaan Lisa tetapi kedua mataku terus saja melihat Lucas.

[Wow, gue titip salam ya ke kakak gue. Suruh dia pulang!] Balasnya. Tanpa aku sadari, aku mengakhiri panggilan.

Lucas pun tiba di hadapanku. Seluruh tubuh dan pakaiannya dibasahi air hujan. Celana dan sepatunya terlihat sangat kotor. Wajahnya memucat dan nafas yang terlihat lebih cepat. Ia juga menggigil. Ia memberikan sebuah plastik hitam padaku, plastik itu berisi teh hangat dan jas hujan berbahan plastik.

"Buat lu, mungkin hujannya sampai malam." Ucapnya, bibirnya yang pucat gemetar.

"Cuma satu." Aku hanya melihat satu jas hujan dan satu teh hangat.

"Gue udah terlanjur basah, kok." Balasnya.

Aku pun mengeluarkan isi kantung plastik hitam itu. Ia segera mengambil teh hangat itu dari tanganku.

"Maaf, ini memang bukan buat lu." Setidaknya ia ingat dengan dirinya. Aku bodoh sekali sempat berfikir teh hangat itu untukku.

Aku segera berlari ke dalam kelasku. Aku melihat sebuah handuk kecil si atas meja, tak peduli milik siapa dan aku mengambil handuk itu. Aku segera mengeringkan kepala dan leher Lucas dengan handuk itu. Aku hanya berdoa semoga pemilik handuk ini tidak memiliki penyakit kulit.

"Rin, terimakasih."

"Gue juga terimakasih, kita tunggu tiga puluh menit lagi sampai badan lu agak kering dan mungkin hujan akan reda." Balasku.

"Sama-sama. Terimakasih karena lu berusaha supaya tubuh gue agak kering. Gue baru tahu kalau lu salah satu siswi yang malas piket kelas. Lu gak tahu kalau ini bukan handuk tetapi lap jendela kelas kita?" 


Three SecondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang