33

167 4 0
                                    

"Gue mau jawab pertanyaan yang lu tanya di MRT, Rin." Ucapannya membuatku menoleh ke arahnya dengan cepat.

Firasatku buruk.

"Tujuan gue ke Amerika adalah bantu bisnis orang tua gue dan nyokap gue sempat serangan jantung dan dirawat di ICU disana. Mungkin gue terlihat ngeles, tapi gue jujur." Ia mulai bercerita.

Aku tahu jika dua tahun yang lalu bisnis orang tua Lucas sempat memiliki masalah dan mulai stabil beberapa bulan yang lalu. Namun, aku tidak menyangka jika tante Lucy sempat mengalami serangan jantung.

"Mukanya biasa aja, Rin. Lu kaget ya kalau keluarga gue sehancur itu." Balasnya dengan senyum. Aku mulai mengontrol wajahku.

"Jadi, gue minta maaf kalau gue gak pernah datang ke Indonesia dan sulit banget saling komunikasi."

Aku diam dan mendengarkan alasannya. Mata kami tak saling bertemu dan kami menatap lalu lintas yang ramai di jalanan.

"Saat gue datang ke Indonesia, gue berharap kalau gue masih ada di hati lu. Gue tau kalau gue egois, tetapi selama ini gue gak pernah lupain lu." Aku semakin tidak ingin menatapnya.

Sesuai dengan firasatku, ia menyampaikan perasaannya. Aku memang senang saat ia mengatakan hal itu. Namun, aku menahan marah karena ia menyampaikan perasaannya saat ia ingin pergi.

"Lu lapar gak? Gue tau tempat dimsum yang super enak disini." Aku mengalihkan pembicaraan.

"Rin, alasan gue menunda kepulangan gue ke Amerika adalah gue mau menyampaikan perasaan gue dan mengakhiri ini dengan baik-baik. Gue tau kalau lu mau tahu alasannya, kan." Ia mengabaikan ucapanku.

"Lu bisa tetap disini dan gak ke Amerika?" Tanyaku, intonasiku mulai ketus.

"Rin, bukan gue gak mau tapi-"

"Intinya gak mau, oke. Lebih baik lu gak perlu menyatakan perasaan lu ke gue, lebih baik lu pendam aja sampai mati!" Aku memotong ucapannya karena kesal, sangat kesal!

Tanganku gemetar dan dadaku terasa sesak. Mataku terus saja berusaha menahan air mataku. Aku benci Lucas yang menyatakan perasaannya karena itu membuat hatiku goyah.

"Lu harus tahu kalau kata-kata lu itu buat gue tersiksa. Kita gak akan mungkin bisa bersama karena gue udah terbiasa tanpa lu disini dan gue sudah punya Rian-"

"Gue tahu lu sudah punya Rian!" Ia memotong ucapanku dan mulai membentakku. Air mataku pun mulai menetes.

"Gue tahu lu punya Rian makanya gue pergi dan mau mengakhiri semua diantara kita. Awalnya gue mau berusaha rebut lu dari Rian, sama seperti gue rebut lu pas SMA. Tapi niat jahat itu harus musnah karena gue lihat Rian memang lebih baik dari gue sampai gue gak percaya diri." Ia menjelaskan kembali dengan suara yang lebih pelan.

Aku menangis dan air mataku semakin tak tertahankan.

"Kalau niat jahat lu untuk rebut gue masih ada, mungkin gue akan goyah tetapi gue akan tetap memilih Rian. Gue gak bisa memanjakan hati yang labil seperti SMA dulu. Jadi,-" Aku menangis dan semakin sulit bicara.

Lucas memelukku. Sejujurnya aku malu menangis dan berpelukan di tempat umum seperti ini. Beruntunglah orang yang berlalu lalang dapat dihitung dengan jari.

"Jadi, jangan nangis." Lucas melanjutkan kalimatku yang terpotong.

"Jadi, pergi yang jauh dan jangan datang kembali lagi saat hati gue sudah hak milik orang lain." Lanjutku dengan suara yang menahan isakan tangisan.

Aku tak percaya pada diriku sendiri, suasana ini membuatku menjadi cengeng. Terlalu memalukan. Aku tak ingin menunjukkan wajahku kepada Lucas dan orang sekitar.

"Kalau kita masih dijodohkan, mungkin jaan ceritanya akan berbeda." Ucapku pelan tetapi Lucas tertawa.

"Dari awal kita memang gak pernah dijodohkan." Balasnya.

Aku maksud dari perkataannya? Aku ingin bertanya tetapi masih terlalu mau untuk menunjukkan wajahku di hadapannya.

"Lu gak malu kita pelukan di JPO? Kaya anak alay yang jadi budak cinta." Bisik Lucas dan aku tertawa.

"Malu banget, tapi gue lebih malu kalo lu lihat muka gue." Balasku.

"Gue gak lihat, janji. Lu juga sih kenapa jadi cengeng?!"

....
Bersambung.

Three SecondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang