"Kenapa beli keperluan masak di toko sepatu?"
Lucas bertanya dengan ekspresi datarnya. Tujuanku datang ke mall ini memang untuk membeli sepasang sepatu. Alasanku membeli keperluan masak hanya sebuah alibi agar aku bisa berbicara dengannya.
"Bantu gue pilih sepatu." Balasku sambil menahan tawa.
Aku melangkah ke berbagai arah toko ini, seorang pegawai toko dan Lucas mengikuti tiap langkah kakiku. Aku melihat berbagai sepatu flat yang cantik, pegawai terus saja menawariku sepatu lainnya sehingga membuatku semakin bingung untuk memilih sepatu yang akan aku beli.
"Coklat cocok buat lu." Lucas memberi saran. Aku tak percaya jika ia memberi saran padaku.
"Coklat?" Tanyaku dan Lucas mengangguk.
"Lu suka warna merah muda tapi lu lebih manis kalau pakai warna coklat."
Aku tak tahu dari mana Lucas tahu jika aku menyukai warna merah muda. Jika difikirkan, aku sangat jarang memakai suatu benda yang berwarna coklat. Mengapa ia menyarankan warna coklat untukku?
Aku memang menyukai sepatu pilihan Lucas, walaupun ada sepatu lain yang aku suka. Namun, aku ingin membuat Lucas merasa senang sehingga aku memilih sepatu yang ia pilihkan untukku. Seorang pegawai membawakan sepatu yang Lucas pilih. Aku segera melangkah ke kasir untuk membayar sepatu yang aku beli itu. Karena pembeli tak begitu banyak, aku pun tak perlu mengantri dan menunggu lama.
"Mau makan?" Aku bertanya pada Lucas. Sejujurnya aku ingin mengajaknya makan karena aku juga lapar.
"Makan? Bukannya tujuan kita beli bahan masakan?" Ia bertanya dengan alis kanannya yang terangkat.
"Oh, bunda baru berkabar kalau semua bahan sudah dibelikan bibi." Aku berbohong untuk menutupi kebohongan lainnya. Lucas menggelengkan kepalanya.
"Ayo, pulang!" Ajaknya.
Aku mengikuti langkahnya dengan cepat. Mengapa Lucas masih saja bersikap dingin padaku? Baru saja aku berfikir jika ia sudah tak marah lagi denganku. Ia sulit ditebak.
"Lucas!" Aku membentaknya.
Aku sudah tak sanggup menghadapi sikapnya yang begitu dingin. Mengapa ia bisa bersikap seperti itu saat aku sudah mengucap kata maaf puluhan kali. Aku semakin kesal padanya hingga aku tak ingin melihat wajahnya. Ia menatapku dan aku hanya menunduk.
"Kenapa?" Ia bertanya dengan suara pelan.
"Kenapa lu masih marah, sih? Gue kan sudah minta maaf."
"Siapa yang marah?" Aku tak menyangka jika ia akan bertanya dengan pertanyaan ini.
"Lu!" Aku membentaknya lagi.
"Gue gak marah haha." Balasnya sambil tertawa.
"Setiap hari lu cuekin gue, kan?" Balasku.
"Gue gak marah." Ia mengucapkan kalimat itu dua kali.
"Terus kenapa?"
"Gue gak mau rebut pacar orang, Rin." Balas Lucas dengan suara yang lebih pelan.
Aku pun mulai memberanikan diri untuk melihat wajah Lucas. Mata kami pun bertemu. Suasana diantara kami hening dan menjadi canggung. Aku melihat wajah lucas yang memiliki kulit putih itu menjadi kemerahan. Wajahku juga terasa semakin panas.
"Kalau gue ngobrol atau lihat lu, setiap tiga detik gue semakin suka sama lu." Lucas mengucapkan kalimat yang sulit diterima oleh otakku. Aku pun mulai menundukan kepalaku karena aku merasa malu untuk menatap dan ditatap oleh Lucas.
"Gue kasih lu pilihan, Rin. Lu mau gue dekat dengan lu, berarti gue punya kesempatan buat rebut lu dari Deva atau gue bersikap dingin, berarti gue nyerah." Aku tak suka dengan pilihan yang diberikan oleh Lucas.
"Gue hitung sampai tiga." Lanjut Lucas.
Aku tak bisa berfikir untuk apa yang aku pilih. Aku juga tak ingin memberikan Lucas harapan saat aku menyukai orang lain. Aku juga tak ingin ia bersikap terlalu dingin padaku karena aku akan dimarahi bunda dan aku merasa bersalah lagi.
"Dua..."
"Tiga..."
"Ayo, pulang! Gue lebih pilih Deva, maaf." Lucas pun melangkah menjauhiku setelah aku mengatakan pilihanku.
---
Bersambung.
![](https://img.wattpad.com/cover/167849404-288-k524638.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Seconds
Genç KurguJika cinta bisa muncul setiap 3 detik, mungkinkah cinta itu akan bertahan?