19

471 12 1
                                    

Waktu berjalan dengan cepat, aku merasa terlalu cepat untuk sampai di rumah. Aku banyak berbincang dengan Rian. Sepuluh tahun terlewatkan membuatku membicarakan semua orang yang kami kenal. Mungkin kami sudah menyebutkan nama dari sepuluh orang yang kami kenal untuk mengisi puluhan menit.

Saat mobil terhenti, kak Rian segera keluar dari mobil. Baru saja aku melepas sabuk pengaman, tetapi ia sudah membukakan pintu untukku. Sejujurnya itu membuatku merasa canggung.

"Terimakasih, kak."

"Kalau butuh tumpangan pulang, kamu bisa chat aku." Balasnya.

"Aku sih mau jadi hemat ongkos dan gak capek. Tapi aku masih mau hidup." Balasku.

"Kenapa? Takut kecelakaan?" Balanya tak mengerti.

"Kalau ketahuan pacar kakak, aku bisa dibunuh haha." Balasku berlebihan. Sedikit bercanda agar tidak merasa canggung, walau ini tidak lucu.

Aku pun melangkah menjauhi Rian dan tersenyum padanya sebagai tanda berterimakasih. Bagaimanapun ia adalah kakak dari sahabatku dan sudah baik padaku untuk hari ini. Ia tetap berdiri dan hanya menatapku yang terus melangkah.

"Rian?" Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Suara bunda.

Aku melihat bunda yang baru saja tiba di rumah. Bunda segera menghampiri Rian dan begitupun Rian yang menghampiri bunda. Aku pun menghampiri mereka berdua.

"Selamat malam, tante. Apa kabar?" Kening Rian menyentuh punggung tangan bunda.

"Ayo, masuk!" Ajak bunda dengan antusias.

Kami pun memasuki rumah. Aku hanya diam dana mereka terus berbagi kabar tentang keluarga mereka. Bunda tak menghiraukanku karena sibuk mengajukan pertanyaan kepada Rian. Bunda selalu seperti itu. Aku hanya berdoa agar bunda tak mengajak Rian untuk tinggal di rumahku, seperti Lucas.

Baru saja sampai di ruang tamu, bunda memaksaku untuk membuatkan minum untuk Rian. Sedangkan mereka masih saja melanjutkan perbincangan mereka. Andai bunda tahu jika aku sangat lelah. Dengan terpaksa, aku melangkah menuju dapur.

Sejujurnya aku hanya ingin memberikan segelas air putih karena terlalu malas membuatkan teh, kopi atau sirup. Namun, apa boleh buat aku harus menyambut Rian dengan baik.

"Siapa?" Tanya Lucas.

Aku kaget saat ia tiba-tiba ada dibelakangku. Ia seperti hantu saja.

"Dia kakaknya Lisa, senior kita di kampus, namanya Rian." Aku menjawab sambil membuatkan teh untuk Rian dan bunda.

"Gue takut." Balas Lucas.

Aku menoleh ke arah Lucas. Aku tidak mengerti mengapa ia merasa takut. Keduanya matanya melihat Rian dari kejauhan, tetapi ia tak terlihat ketakutan.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Terakhir kali gue jadi tamu rumah ini, kita dijodohin." Balasnya. Aku benci dengan ucapan itu.

Aku pun meninggalkan Lucas. Aku membawa dua cangkir teh hangat untuk Rian dan bunda menuju ruang tamu.

"Kenapa kuliah di Indonesia?" Aku mendengar pertanyaan bunda, pertanyaan yang sama dengan pertanyaanku sebelumnya.

"Aku dapat beasiswa disini, tante. Aku juga sekalian cari pendamping berdarah lokal haha."

"Kalau Rini jadi pendamping kamu mau?" Maaf bunda, kali ini aku merasa kesal.

"Boleh." Balas Rian. Mengapa ia menjawab tanpa berfikir terlebih dahulu?

"Sayangnya, Rini sudah dijodohkan." Balas bunda.

Aku membenci perbincangan ini. Bercanda atau serius, aku sungguh membenci topik pembicaraan ini.

"Aku juga sudah dijodohkan, tante." Balas Rian.

Aku pun melihat wajah Rian. Ia terlihat tidak senang saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Saat aku melihatnya, aku tahu perasaannya. Aku dan Rian berada dalam situasi yang sama.

"Dengan siapa?" Tanya bunda dengan antusias.

"Sakura, dia sahabat Lisa di Jepang dan anak dari salah satu investor di perusahaan papa." Jawabnya.

Aku mengerti tentang apa yang Rian rasakan. Menyakitkan dan menyebalkan. Aku benci sekali dengan perjodohan. Semua manusia memiliki sebuah cinta dan berhak untuk memilih kemana cinta itu pergi.

"Tetapi saya yakin, perjodohan yang ditentukan oleh manusia akan dikalahkan oleh perjodohan yang ditentukan Tuhan." Lanjut Rian.

Three SecondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang