17

485 12 0
                                    

"Bun, aku berangkat."

Aku pamit pada kedua orang tuaku yang sedang tenang menikmati sarapannya. Sudah disediakan satu mangkuk sup hangat dan susu untuk aku santap, tetapi aku mengabaikannya. Aku hanya mengambil dua lembar roti tawar yang berada di meja makan untuk aku santap di perjalanan menuju kampus.

"Lucas sudah tunggu kamu dari tadi, Rin. Bunda sudah titip sarapan kamu ke dia." Kalimat yang diucapkan bunda berhasil membuatku membatu.

"Hah? Lucas?" Aku memastikan.

"Iya. Berangkat! Sudah jam tujuh, Rini. Sebentar lagi ospek kalian dimulai."

Aku melangkah penuh dengan keraguan. Aku ragu untuk menyapanya, aku ragu untuk menatapnya dan aku ragu untuk berada di sekitarnya. Namun, jika aku tidak menumpang di mobilnya, aku pasti akan telat. Aku harus bagaimana?

"Cepat!" Teriak Lucas saat ia mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. Aku segera berlari menghampirinya.

Aku pun membuka pintu mobil dan duduk di samping Lucas. Terasa ada dinding besar yang membatasi kami, membuat kami merasa canggung. Seharusnya aku tidak mengulangi kesalahanku yang sering sekali terlambat.

Lucas mulai mengendarai mobilnya. Hening, ia juga tak menyalakan radio. Aku ingin menyalakan radio tetapi terlalu takut untuk bergerak. Ia hanya menatap ke arah jalan raya yang dilalui. Aku? aku melihat pemandangan melalu jendela dan sesekali melihat Lucas melalui kaca spion.

"Terima kasih, ya." Ucapku. Aku membuka pembicaraan. Jika difikirkan, aku sangat jarang mengajaknya bicara semenjak ia mengakui perasaannya.

"Hmm." Balasnya.

"Malam ini mau mampir ke mall?" Aku mengajaknya.

"Nggak." Balasnya. Aku juga tak memaksa.

Jika cinta datang dalam 3 detik, mengapa aku sulit menerima Lucas padahal sudah miliaran detik aku lalui? Rasanya selalu ada keraguan untuk menerimanya dan keegoisan untuk memilikinya.

Ponselku berbunyi. Rupanya email masuk, mungkin email yang tak penting dan aku abaikan saja. Ponselku berbunyi lagi, kali ini whatsapp. Tidak seperti biasanya ada yang mengirimkan pesan melalu whatsapp.

Baru saja ingin membuka whatsapp, nomor yang tidak dikenal menghubungiku. Aku menolak panggilan itu. Tak lama panggilan masuk dari nomor yang sama. Suasana antara aku dan Lucas semakin canggung, akhirnya aku menerima panggilan itu. Aku harap ini bukan panggilan dari penipuan.

"Halo."

[Makasih ya fotonya.] Suara pria? foto?

"Maaf, ini siapa? Foto?" Tanyaku.

[Iya, kemarin kita foto pas kamu minta perlengkapan ospek. Lupa?]

"Oh, sama-sama." Balasku.

Untuk apa berterima kasih? Dia sendiri yang mengirimkan fotonya. Bagaimanapun aku tidak ingin membuatnya malu karena aku tidak ingin mencari musibah saat ospek.

[Lisa belum cerita, ya?]

Mataku membesar saat pria itu menyebutkan nama Lisa. Bagaimana dia tahu jika aku memiliki teman bernama Lisa. Aku mulai yakin ini penipuan yang sedang menduga-duga orang terdekatku.

"Eh, dengar ya! Gue tahu lu penipu. Dasar, sampah masyarakat. Foto? Gue cuma mau foto sama orang penting sepenting presiden. Ngapain foto sama penipu? Pergi ke tukang nasi padang, beli otak!" Aku pun mengakhiri panggilan.

"Haha."

Aku melihat Lucas tertawa. Walaupun aku sedang kesal, tak apa. Setidaknya aku melihat Lucas tertawa. Aku harap ia tak lagi membenciku.

Three SecondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang