Aku melihat koper itu lagi di garasi rumahku. Rasanya baru kemarin koper itu masuk dalam rumahku bersama pemiliknya yang menyebalkan itu, kini dia pergi dengan sesuka hatinya ke Amerika. Memberi pesan agar tidak melupakannya tetapi dengan lancang menyakiti hatiku.
"Tante, saya pamit." Ia pamit kepada orang tuaku.
Ia pun menoleh ke arahku, aku pun tersenyum padanya. Dengan sangat terpaksa aku keluarkan senyum itu agar mengubur rasa marah, kecewa dan ego untuk mempertahankan harga diriku. Aku memang memiliki perasaan padanya, tetapi aku tak ingin hatiku diinjak olehnya karena ia tahu perasaanku.
"Sampai ketemu lagi." Ucapnya padaku. Aku mengangguk bersamaan dengan senyum palsuku. Aku tak ingin lagi bertemu dengannya.
Hal yang membuatku kecewa adalah ia selalu pergi saat hatiku terbuka untuknya. Saat diriku sudah menemukan jalan buntu dalam hatinya, ia memaksa terkurung sendirian. Pergi sesuka hatinya, berjuang mendapatkan hati sesukanya saja. Ia membatalkan pertunangan dan pergi, tetapi ia memintaku untuk mempertahankan hatiku untuknya. Apakah ia fikir hidup adalah komedi?
"Kamu sudah tahu kan jika pertunangan kalian dibatalkan?" Bunda memastikan jika aku sudah mengetahui kabar itu.
"Tahu, tapi rasanya gak adil. Kenapa giliran Lucas yang minta pertunangan dibatalkan, semua setuju? Dulu aku gak setuju tetapi kalian tetap egois tanpa memikirkan keputusan aku." Jawabku ketus.
Kedua orang tuaku bungkam. Dari wajah mereka, aku tahu jika mereka ingin menjelaskan. Namun, waktunya sangat tidak tepat untuk menjelaskan hal itu saat mobil yang dinaiki oleh Lucas mulai keluar dari garasi rumahku. Mereka lebih memilih untuk melambaikan tangan kepada Lucas.
"Aku tahu jika perjodohan ini bertujuan supaya aku mendapat pendamping yang sesuai dengan kriteria bunda dan ayah. Tapi kalau seperti ini caranya, aku merasa dipermainkan." Aku bicara lagi saat mobil yang mengantar Lucas telah pergi meninggalkan rumahku.
Kedua orang tuaku menatap sendu. Mereka seakan mengerti apa yang aku rasakan tetapi masih tak setuju dengan apa yang aku katakan.
"Kalau kalian jodoh, Tuhan yang pasti menjodohkan kalian." Bunda berusaha menenangkanku.
Aku bukan kesal karena perjodohan ini dibatalkan, aku hanya merasa kecewa karena perasaanku dipermainkan.
Aku melangkah memasuki rumah, berjalan cepat menuju kamar tidurku. Tatapan ayah kepada bunda seakan mengisyaratkan agar bunda berbicara padaku. Bunda pun mengikuti langkahku dengan cepat. Kali ini aku jahat kepada orang tuaku.
"Kamu sudah tahu jika orang tua Lucas bercerai? Lucas yang bilang kalau dia gak mau perceraian menjadi bagian dari kisah cinta di hidupnya. Salah satu cabang perusahaan ayah kandung Lucas mulai bangkrut dan dia mau fokus untuk bantu orang tuanya. Dia akan berkomitmen menciptakan keluarga jika dia sudah bisa memperbaiki dan menerima keadaan keluarganya. Bunda setuju dengan pendapat dia, Rin."
Bunda menjelaskan alibi Lucas. Aku diam karena alasan itu dapat diterima, hanya saja menyebalkan sekali.
"Aku tetap gak bisa sama Lucas. Pergi sesuka hatinya? Itu menyebalkan dan egois."
"Semua keputusan berdasarkan kalian berdua." Balas bunda bersamaan dengan langkah kaki terhenti.
Aku tak ingin bertengkar dengan orang tuaku hanya karena Lucas mengguyurku dengan rasa kecewa. Setelah aku dan bunda berdebat, aku tersenyum padanya dan mengangguk sebagai isyarat aku mengerti.
Aku melangkah cepat menuju kamar tidurku. Baru saja membuka pintu, ponselku berdering. Lucas menghubungiku, aku senang saat rasa marah masih dikekang hatiku. Aku masuk kamarku dan menutup pintu kamarku.
JANGAN ANGKAT! teriak batinku.
Namun, ibu jari tangan kananku tak mengikuti perintah batinku.
"Kenapa?" Tanyaku.
[Marah?] Tanya Lucas.
"Nggak." Aku berbohong. Aku yakin Lucas tahu jika aku berbohong.
[Pasti marah.] Dia benar. Aku tetap kesal dengannya.
[Marah aja, gak apa-apa. Gue gak akan paksa lu untuk gak marah. Tapi, gue tetap minta maaf, Rin. Dimaafin gak?]
"Apa sih Lucas?!" Dia benar, aku memang sedang marah.
[Gue pernah ngerasain perasaan yang lu rasain, Rin. Saat lu lebih memilih Deva, saat lu akrab dengan Rian dan saat lu belum jadi pacar gue. Emosi itu pilihan semua orang, gue juga gak akan memaksa lu untuk gak marah. Tapi gue minta maaf, Rin. Pilihan ini memang yang terbaik buat-]
"Jangan bandingkan rasa marah gue dengan rasa marah lu! Ini beda." Aku kesal dan memotong pembicaraannya.
Dia membatalkan pertunangan sesuka hatinya tanpa memikirkan perasaan orang lain.
[Akhirnya ngaku kalau lagi marah.] Balasnya.
[Gue gak mau paksa hubungan kita dengan status pertunangan. Gue tahu kalau hati manusia selalu goyah setiap detiknya, terlalu jahat jika kita balas kesetiaan dengan khianat. Hati gue atau lu, pasti akan sama-sama goyah dan status pertunangan itu akhirnya akan menjadi awal seseorang menyakiti pasangannya. Gue gak paksa hati lu untuk gue tapi gue tetap berharap hati lu bertahan karena setiap detik gue akan berjuang untuk mempertahankan hati lu.]
"Lebay!" Aku jujur. Lucas terlalu berlebihan.
[Maafin gue, Rin. Lu boleh hukum gue, kok]
"Hukum? Apa? Oke, beliin gue mobil." Aku menantangnya.
[Gak ada yang lebih sadis lagi, Rin?]
Aku tersenyum.
"Nyanyi." Pintaku.
selamat tinggal kasih
sampai kita jumpa lagi
aku pergi takkan lama
hanya sekejap saja
ku akan kembali lagiasalkan engkau tetap menanti
Ku akan pergi meninggalkan dirimu
Menyusuri liku hidupku
Janganlah kau bimbang
Dan janganlah kau ragu
Berikanlah senyuman padaku"Hati-hati di jalan, Lucas." Ucapku.
"Bilang ke supir dan pilotnya dong, bukan gue yang bawa mobil atau pesawatnya." Balasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Seconds
Teen FictionJika cinta bisa muncul setiap 3 detik, mungkinkah cinta itu akan bertahan?