16

517 9 0
                                    

Beberapa bulan kemudian ...

Aku memulai hidupku yang baru. Tidak lagi memakai seragam sekolah, tidak lagi memakai kaos kaki putih dengan sepatu hitam. Aku sudah melupakan Deva, meski beberapa tempat dan benda berhasil membuatku bernostalgia. Hubunganku dan Deva berakhir dengan baik.

Lucas masih sama. Ia tak lagi menegurku, tak lagi menyapa dan tak lagi peduli padaku. Orang tuaku selalu memarahiku karena jarak yang ia ciptakan, menyebalkan. Sejak aku menolaknya, ia berubah. Sialnya, aku dan Lucas menuntut ilmu di universitas yang sama.

"Mahasiswi baru?" Seorang pria asing  menghampiriku dengan sebuah pertanyaan. Aku melihatnya memakai almamater universitas ini, mungkin ia adalah panitia kegiatan mahasiswa baru.

"Iya, kak."

"Jurusan?" Tanyanya.

"Farmasi, kak." Jawabku.

Ia pun mulai mencarikan perlengkapan mahasiswa baru untukku. Aku tak tahu apa saja yang ia cari, ia sibuk mencari sesuatu dalam plastik hitam yang berukuran besar.

Pria itu sangat mirip dengan seorang artis, mirip sekali dengan orang yang aku kenal. Wajahnya sangat mirip dengan Lisa, sahabatku. Aku harus menunjukkan foto senior itu kepada Lisa.

Aku mengambil ponselku secara diam-diam. Tanganku sedikit gemetar saat mengarahkan kamera ponselku kepada pria itu. Aku pun mulai menekan layar untuk memotretnya.

Hal yang memalukan pun terjadi. Suara ponsel dan cahaya lampu keluar begitu saja saat aku mengambil fotonya. Ia pun menoleh ke arahku. Wajahku sudah memerah, bagai tapak kuda yang dipanaskan. Aku segera menyembunyika ponselku dan menundukan kepalaku. Memalukan sekali!

"Ini." Dia memberikanku selembar kertas yang berisi perlengkapan ospek, pin dan name tag.

Saat aku mengambil semua yang ia berikan, ia menahannya. Ia tak melepas semua benda itu. Aku berusaha menarik benda-benda tersebut tetapi ia memegangnya dengan kuat.

"Boleh pinjam hp nya?" Pintanya.

Dengan terpaksa, sangat terpaksa, aku memberikan ponselku padanya. Ia membuka ponselku dan tak dapat melihat apa yang ia lakukan dengan ponselku. Badannya lebih tinggi dariku.

Ia pun berdiri di sampingku. Mataku membesar saat aku melihat ia mengarahkan kamera kepada kami. Tanpa aba-aba, ia pun mengambil foto.

"Foto berdua lebih baik. Foto yang tadi sudah gue hapus." Ucapnya. Wajahku semakin memerah.

Ia masih memainkan ponselku. Aku tak tahu apa yang sedang ia mainkan. Aku harap ia segera mengembalikan ponselku.

"Gue buka whatsapp ya, gue mau kirim fotonya ke whatsapp gue."

Aku diam dan hanya mengangguk.

"Nih!" Ia pun mengembalikan ponselku.

Aku segera mengambil ponsel dan perlengkapan yang ia berikan. Dengan wajah yang sangat merah, aku pamit pergi darinya. Memalukan.

Three SecondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang