••NAMANYA FARUK••

1.8K 156 22
                                    


Happy reading ❤❤

Hujan itu menyebalkan, kadang ia membuat bahagia, kadang juga menyakitkan.

•••

Seharian ini masih banyak cemoohan yang bisa Lala dengar, dari kantin, perpustakaan bahkan toilet—seolah dia menjadi selebritis dadakan. Bersyukurnya bel pulang telah berbunyi, jadi telinganya tak lagi merasakan panas dari mulut-mulut nakal tak bertanggung jawab yang sok tahu urusan orang lain.

Lala mengeluarkan motornya dari tempat parkir, tak lupa ia memakai helm dan menguncinya, segera gadis itu melajukan motor keluar dari gerbang sekolah yang sudah dipadati umat manusia penghuni SMA Semesta.

Terlihat kanvas di atas sana mulai abu-abu, suara petir juga mulai terdengar, Lala tak suka hujan apalagi petir—jadi melajukan motornya lebih cepat agar lekas sampai di rumah, ia tak ingin seragamnya tersentuh air hujan yang dingin, baginya hujan hanyalah tanda kesedihan yang harus dihindari.

Namun, Lala merasakan motornya mulai tak nyaman, sesuatu mulai mengusiknya hingga ia terpaksa berhenti di sisi jalan dan turun.

“Ya ampun!” Lala berjongkok melihat ban belakang motornya sudah kempes. “Ini harus gimana coba, mana rumah masih jauh, bengkel di sekitar sini juga jauh.” Lala melepas helm yang kini ia letakan di spion.

Ia menggigiti kuku seraya melihat ke segala arah, sepi. Lala duduk di atas bahu jalan, ia kebingungan harus bagaimana.

“Bang Ibra udah pulang belum, yah?” Lala merogoh ponsel dari ranselnya lantas menghubungi Ibra, tapi hingga lima kali panggilan tetap tak ada jawaban, Ibra sibuk.

“Ya Tuhan, sekarang gue harus gimana coba? Minta tolong ke siapa.” Lala menutup telinganya dengan kedua tangan seraya memejamkan mata setelah terdengar suara petir berdentum cukup keras di atas sana, Lala ketakutan.

“Bunda ... Lala takut, bunda,” lirihnya masih terus menutup kedua telinga.

“Motor lo kenapa? Mogok?” Suara itu membuat Lala menengadah menatap laki-laki asing yang tersenyum padanya, Lala beranjak.

“Ban motor gue kempes yang belakang, gue tahu di sini nggak ada bengkel, terus mau hujan ditambah petir, gue bingung pulangnya mau gimana.”

“Sebentar.” Remaja itu mengeluarkan ponselnya, ia masih memakai seragam OSIS lengkap, Lala melihat badge sekolah di bagian lengan yang bergambar lambang SMA Angkasa. Remaja asing itu tampak menghubungi seseorang, sedangkan Lala makin gusar karena petir terus bersahutan.

“Kelar, lo bisa pulang bareng gue,” ujar laki-laki itu.

Lala mengernyit, “Hah? Pulang bareng elo? Gimana maksudnya?”

“Begini, gue baru telepon temen suruh mereka ke sini bawa motor lo, bengkelnya jauh, kalau kita bawa juga bakal kena hujan. Jadi, biar mereka aja yang urus, sedangkan lo gue antar pulang, gimana?”

Lala hanya diam menatap laki-laki itu berkata panjang lebar, ia seperti terhipnotis.

“Gimana?” tanya remaja itu sekali lagi.

Lala mengerjap, “Ng ... gue, tapi, gue—” Terdengar dentuman lagi, membuat Lala sontak berjongkok seraya menuntup mata dan telinganya.

Laki-laki itu tertawa kecil melihat ketakutan Lala, ia berjongkok di sisi Lala dan mendekatkan wajahnya.

Esperance (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang